Sektor bangunan di Indonesia membutuhkan sistem pendingin udara untuk menciptakan zona kenyamanan termal untuk kegiatan indoor harian. Selama musim panas, sistem pendingin udara bahkan lebih dibutuhkan. Oleh karena itu, permintaan listrik dari sektor bangunan meningkat. Secara umum, energi listrik berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, itu adalah energi tidak terbarukan dan juga memiliki masalah lingkungan.
Di Indonesia, energi matahari dapat dimanfaatkan hampir sepanjang tahun. Perkembangan terakhir dari absorption chiller telah menunjukkan bahwa sistem ini cocok untuk menggunakan energi surya secara efektif. Pemanfaatan energi matahari untuk sistem pendingin yang digerakkan oleh panas memiliki keuntungan yang signifikan; yaitu mewakili sumber energi bersih, tersedia tanpa biaya langsung dan juga dapat diakses secara proporsional ketika beban pendinginan meningkat saat siang hari. Oleh karena itu, memanfaatkan energi matahari untuk sistem absorption chiller di Indonesia adalah salah satu teknologi yang menjanjikan yang dapat memecahkan masalah energi dan lingkungan.
Dengan bekerja bersama Kawasaki Thermal Engineering dan Waseda University, Universitas Indonesia telah menginstal Solar Thermal Cooling System (STCS) pertama di Indonesia. Sistem ini menggunakan mesin chiller penyerapan efek-tunggal-ganda; Sistem ini terletak di gedung Mechanical Research Center (MRC). Dari tipikal data uji lapangan, Solar Thermal Cooling System dapat mengurangi konsumsi energi primer antara 11 dan 48% dibandingkan dengan sistem kompresi uap dengan COP 3,1. Selain itu, penelitian ini memprediksi kinerja sistem ini di enam kota besar di Indonesia berdasarkan data uji lapangan: Jakarta, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Makassar, dan Bali. Total rata-rata dalam satu bulan untuk enam kota adalah 25,8 MWh pengurangan konsumsi gas dan itu setara dengan pengurangan 13,8 ton emisi CO2.