“Belajar tanpa berpikir tidak ada gunanya,
tapi berpikir tanpa belajar sangat berbahaya!”
Bung Karno
Ungkapan Bung Karno itu sangat berbekas bagi saya. Betapa pentingnya belajar dan berpikir. Belajar tidak melulu di bangku sekolah. Kehidupan yang kita alami adalah pembelajaran paling baik bagi masing-masing dari kita. Tanpa berpikir, barangkali kita tidak pernah menganggap pengalaman hidup sebagai suatu pembelajaran. Pengalaman akan menjadi rutinitas yang hampa, kaku, tanpa rasa, tanpa ambisi untuk memperbaiki diri, serta hilang dan berlalu begitu saja. Dengan berpikir terhadap pengalaman, terbuka peluang untuk memperbaiki diri. Meskipun tidak sempurna, saya selalu berusaha agar “hari ini lebih baik dari kemarin” melalui belajar dan berpikir.
Pengalaman juga bukan hanya pembelajaran bagi diri sendiri. Saya belajar banyak dari tokoh-tokoh besar seperti Bung Karno, Ibu Megawati Soekarnoputri, para tetua kami di Papua, tokoh-tokoh penting nasional maupun dunia yang saya baca dari buku-buku, dan lain-lain. Saya bertemu Ibu Mega dan mendapatkan banyak pembelajaran langsung yang disampaikan beliau. Namun saya tidak bisa bertemu dengan Bung Karno karena berbeda zaman. Akan tetapi saya mendapatkan pembelajaran dari pengalaman beliau dari buku-bukunya. Jadi pengalaman seseorang juga bisa menjadi pembelajaran bagi orang lain. Dalam hal ini membukukannya menjadi penting.
Apakah pengalaman saya bisa jadi pembelajaran bagi orang lain? Saya bukan tokoh besar. Saya adalah orang daerah yang merangkak setahap demi setahap untuk mencapai apa yang bisa saya raih saat ini dan pelosok. Tentunya bukan karena saya merasa sukses jika kemudian saya menuliskan pengalaman saya dalam buku ini. Juga bukan bermaksud congkak untuk mengajarkan sesuatu pada pembaca bagaimana menjadi pahlawan. Saya hanya ingin berbagi pengalaman yang sederhana, bagaimana mencintai Tanah Air dengan segala keterbatasan saya dan menghormati sesama dengan segala kerendahan hati saya.
Saya tahu, bahwa menceritakan pengalaman baik itu berguna sebagai bahan pembelajaran bagi sesama. Namun saya selalu tersandera oleh perasaan bahwa pengalaman saya tidak layak diketahui orang banyak. Cukup kerabat dan teman saya saja melalui cerita lisan. Akan tetapi desakan bahwa saya perlu membuat buku autobiografi terus “meminta” saya untuk menuliskannya. Akhirnya saya menyerah. Meski begitu, kegamangan terus menarik-narik saya. Tidak mengherankan jika buku ini sudah tertunda lebih dari sepuluh tahun, sejak saya memulai menulisnya pada tahun 2012 ketika saya masih menjadi Wakil Ketua DPRD Papua.
Ide awalnya dari kawan-kawan di Papua. Mereka meminta saya menulis buku sebagai legacy tentang upaya membangun demokratisasi di Papua. Saat itu saya belum beranjak dari Tanah Papua. Tantangan di sana besar dan saya memulainya dari titik nol sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tidak ada yang menduga, termasuk saya sendiri, saya bisa mencapai posisi hingga menjadi Wakil Ketua DPRD Papua.
Apakah saya sukses? Sebagai orang yang berangkat dari titik nol, banyak kawan yang menyebut saya sukses. Mereka meminta resepnya yang ditulis dalam sebuah buku. Seperti yang saya sebutkan, saya bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, dan belum melakukan apa-apa. Oleh karena itu, meskipun sudah mulai menulis hal-hal penting dan mencapai sekian bab, untuk mewujudkannya menjadi buku autobiografi masih jauh panggang dari api. Bahwa kini Anda sudah memegang buku ini, adalah karena kuasa Allah SWT.
Buku ini akhirnya saya berani terbitkan dengan beberapa catatan. Pertama, karena momentum peringatan HUT PDIP yang ke-50 pada 10 Januari 2023. Peringatan ulang tahun emas itu begitu mengharukan, menumbuhkan rasa bangga pada PDIP, kesetiaan pada Ibu Megawati, serta keinginan yang kuat dan tulus untuk terus membangun negeri dengan segala daya dan upaya saya.
Pada perayaan itu, beberapa hal membuat hati dan badan saya bergetar. Pada puncak peringatan, sebanyak 7.000 anggota Satgas Cakra Buana berkumpul di pelataran JIExpo, Kemayoran. Mereka berasal dari seluruh Indonesia. Sebagai Kepala Satgas, saya berusaha membangun sistem untuk mengerahkan mereka datang. Dan ternyata berhasil.
Yang mengharukan, upaya itu mendapat apresiasi dari Ibu Mega. Ketika beliau menyerahkan bendera partai kepada saya yang dibawa penerjun payung pada prosesi Peringatan HUT PDIP ke-50 itu, beliau memberikannya dengan khidmat. Saya terima dengan bergetar. Lalu saya atas nama teman-teman dari Satgas Cakra Buana menyampaikan baret Satgas berbintang lima kepada Ibu Mega. Saat itu Ibu Mega menerimanya dengan berlinang air mata. Saya tahu karena beliau menyeka matanya meskipun dengan segala bentuk keseganan, saya tidak berani menatap wajah beliau. Yang mengagetkan, belum mengatakan, “Terima kasih, Komar.” Itu membuat saya bergetar. Lalu dengan spontan saya memberikan salam komando dan menyalami tangan beliau dengan penuh hormat. Bahkan karena segannya, saya hanya berani menyentuh ujung jarinya.
Saya terbayang bagaimana dulu saya “berani” terhadap beliau. Saya termasuk orang dekat beliau yang mungkin yang paling berani. Saya berani mengatakan sesuatu yang mungkin menyinggung beliau meski diakui Ibu Mega sebagai hal yang baik karena merupakan kritik. Cerita keberanian (atau “kekurangajaran”?) saya itu sering beliau kemukakan dalam berbagai kesempatan, termasuk pada pidato Ibu Mega di Peringatan HUT PDIP ke-50. “Di sini kalau saya ingat, tadi komandan satgas Komarrudin, zaman dulu galak dia, susah diatur. Zaman dulu Ibumu ini dikasih nama Ratu Preman,” ujar Ibu Mega.
Pada kesempatan lain, beliau mengatakan bahwa saya adalah satu-satunya kader PDIP yang berani memarahi beliau. Tentu banyak yang bertanya, bagaimana seorang Komar berani memarahi orang seterhomat Ibu Mega. Siapa Komarudin Watubun itu? Dari mana, apa yang sudah dilakukannya bagi PDIP dan negeri ini? Dan sebagainya. Hal ini yang makin meyakinkan saya bahwa saya perlu segera menerbitkan buku ini yang sudah tertunda lebih dari 10 tahun. Sekali lagi, ini bukan hendak menyombongkan diri, namun sebagai alat instrospeksi saya sendiri dan tentunya semoga memberikan secercah bahan pembelajaran hidup bagi yang membacanya.
Kedua, buku ini disusun secara kronologis mulai dari masa kecil saya di Mun Kahar dan Papua, lalu kiprah politik saya di Tanah Papua. Selanjutnya saya berkarier di Jakarta sebagai anggota DPR RI dari PDIP. Sebagai orang Papua saya ikut melahirkan UU Otsus Papua. Dalam proses pembahasan UU Otsus Papua tahun 2021 saya dipercaya menjadi Ketua Pansus Otsus Papua sampai akhirnya disahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada 19 Juli 2021. Langkah lebih lanjut dari adanya UU ini adalah lahirnya daerah otonom baru (DOB) di Papua yaitu Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan.
Di PDIP sendiri saya dipercaya Ibu Mega untuk menduduki posisi penting seperti Komandan Satgas Cakra Buana dan Kepala Sekolah Partai PDIP. Ini penghargaan dan kehormatan yang luar biasa dari Ibu Mega kepada saya. Saya terima amanah itu sebagai bentuk rasa hormat dan pengabdian pada beliau, PDIP, dan juga negara.
Ketiga, saya juga ikut mendorong dan mengantar Joko Widodo (Jokowi) menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 hingga menjadi Presiden RI (2014). Ini saya sampaikan bukan hendak mencari panggung dan pamrih, namun sebagai bahan pembelajaran juga bagi diri saya bahwa Jokowi yang dulu bukan siapa-siapa, tidak memiliki darah biru di PDIP, pada akhirnya bisa menjadi Presiden RI. Ini teladan yang baik untuk mendorong kader-kader PDIP agar tulus berjuang dan mengabdi bagi negara. Dalam beragam kesempatan hal ini selalu saya sampaikan pada kader-kader PDIP dan anggota satgas: Jokowi dulu anggota Satgas Cakra Buana, kini menjadi Presiden RI; Tidak tertutup kemungkinan orang besar lainnya lahir dari mereka.
Syukur, alhamdulillah, Jokowi menjadi Presiden RI yang diakui dan diapresiasi kinerjanya. Saya sendiri bangga. Namun sebagai seorang sahabat, saya juga sering memberikan kritik pada beliau untuk mengingatkan jika langkahnya saya rasakan kurang bijak dan bisa memilih langkah lain yang lebih bijak. Saling mengingatkan (dalam bentuk kritik yang konstruktif) adalah kewajiban kita. Quran surah Az-Zariyat (51) ayat 55 menyebutkan, ”Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”
Akhirnya, saya mengucapkan syukur bahwa buku ini bisa diterbitkan. Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga buku ini bisa sampai ke tangan Anda. Semoga bermanfaat dan menemukan bahkan pembelajaran di dalam. Juga, semoga buku ini menginsipirasi.
Demikian dari saya. Jayapura, 9 Februari 2023
Komarudin Watubun