Berkembangnya ilmu dan teknologi di bidang kedokteran, melahirkan tata laksana baru prosedur pengobatan dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Di Eropa digagas program The European Partnership for Action Against Cancer (EPACC). Hal ini terbentuk karena kenyataan bahwa, berdasar-kan data tahun 2006, kanker menyebabkan dua dari sepuluh kematian di kalangan kaum perempuan di Eropa dan tiga dari sepuluh kematian dari kalangan kaum pria di benua itu. Selain itu, ada sebanyak 3,2 juta warga Uni Eropa terdeteksi menderita kanker setiap tahunnya. Perkembangan tersebut mendorong Uni Eropa untuk meresponsnya secara kolektif guna mengurangi jumlah kematian karena kanker dan meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat.
Dari sana lahirlah suatu konsensus yang menetapkan bahwa pelayanan kanker di rumah sakit di Eropa harus dilakukan oleh tim kanker multidisiplin. Konsensus ini menetapkan bahwa tim kanker multidisiplin tersebut harus dipimpin oleh seorang non-surgical oncologist yang bertugas mengatur dan mengkoordinasi seluruh kegiatan tim multi-disiplin kanker tersebut.
Saat ini, berbagai pusat kanker di benua Eropa telah menyepakati konsensus tersebut dan mengharuskan tiap-tiap rumah sakit yang menangani pasien kanker memiliki tim kanker terpadu yang dipimpin oleh seorang non-surgical oncologist. Perkembangan tersebut memperkuat ketetapan yang menunjukkan pentingnya peranan kompetensi disiplin ilmu penyakit dalam, terutama yang mengkhususkan diri dalam bidang onkologi, dalam penanganan pasien kanker dan keharusan penanganan secara tim multidisiplin agar tercapai hasil yang tepat guna dan berhasil guna bagi pasien.
Prof. Arry, penulis buku ini termasuk yang percaya dan terus berusaha untuk selalu “mengajak” ahli di bidang lain (internis) saat menangani kanker. Dengan pola seperti ini, hasil yang didapat memang lebih baik. Selain itu, selalu ada ide dan dorongan untuk melakukan penelitian dengan semangat saling mendorong. Hal ini pada akhirnya diharapkan sampai pada kenyataan bahwa jika seseorang terkena kanker, itu bukan titik akhir. Masih ada harapan untuk sembuh, atau setidaknya memiliki harapan hidup yang jauh lebih lama dengan kondisi tetap produktif dalam hidupnya.
Kepedulian dan concern Prof. Dr. dr. Arry Harryanto Reksodiputro SpPD KHOM terhadap kanker bukan hal baru. Pada tahun 1960-an Ilmu Hematologi bukanlah cabang ilmu favorit di kalangan para mahasiswa kedokteran. Ilmu ini masih dianggap bidang keilmuan kecil sehingga di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Hematologi masih menjadi bagian dari Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Sementara mahasiswa kedokteran lain memilih mendalami keahlian di cabang ilmu kedokteran yang besar, Arry Harryanto Reksodiputro yang lahir pada 28 Januari 1939 memutuskan memilih Hematologi sebagai bidang keahliannya kelak. Siapa nyana, Hematologi kini menjadi bidang ilmu kedokteran, salah satu yang difavoritkan di Indonesia bahkan menjadi harapan para penderita kanker karena melalui keilmuan ini penyakit menakutkan itu bisa ditangani lebih baik.
Prof. Arry sendiri dikenal sebagai “Ahli Darah” karena keahliannya di bidang Hematologi (kini menjadi Hematologi dan Oknologi Medik), bahkan oleh stafnya dianggap Bapak Hematologi dan Onkologi Medik Indonesia. Sebagai “Ahli Darah” Prof. Arry berperan besar dalam mengembangkan perspektif penanganan penyakit kanker di Indonesia. Lalu melalui konsep yang ditawarkannya pada Presiden Soeharto, didirikanlah RS Kanker Dharmais, sebuah rumah sakit yang khusus menangani kanker. Prof. Arry sendiri yang diminta Presiden Soeharto untuk mempresentasikan konsep rumah sakit tersebut dalam suatu rapat kabinet suatu ketika. Kini RS Kanker Dharmais telah berkembang menjadi Pusat Kanker Nasional (Indonesian National Cancer Center).
Dua langkah besar itu menunjukkan bahwa Prof. Arry adalah seorang dokter yang memiliki visi jauh ke depan. Di kalangan dekatnya, ia dikenal sebagai sosok yang tekun, pintar, tegas, humanis, berani, sederhana, dan sangat mendorong para mahasiswanya untuk mengembangkan ilmunya hingga ke luar negeri. Tak segan-segan ia mencarikan sponsor agar sejumlah mahasiswanya mendapat beasiswa untuk sekolah di luar negeri. Dari upayanya ini sejumlah stafnya di Bagian Hematologi dan Onkologi Medik UI kini sudah menjadi profesor dan guru besar yang disegani.
Kisah hidup Prof. Arry sendiri menarik. Ia dibesarkan dalam sebuah keluarga yang menitikberatkan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Meski ayahnya bukanlah seorang yang kaya raya, dengan prinsip itu sang ayah berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga seluruhnya lulus perguruan tinggi. Mereka berkarier di berbagai bidang, mulai dari dokter, ahli hukum, hingga diplomat.
Menelusuri kisah hidup Prof. Arry seperti menggali filsafat-filsafat hidup sederhana yang bermakna besar. Ia sendiri mengaku hidupnya mengalir begitu saja. Namun dari sikap seperti itulah justru banyak inspirasi bisa dipungut. Saat membesarkan Subbagian Hematologi, banyak langkah sulit dialami. Subbagian ini pada awalnya sering “dipingpong” dari satu ruang berpindah ke ruang kecil lain karena masih dianggap sebelah mata. Peralatannya pun hanya sebuah mikroskop tua. Namun itu justru memicu tekad Prof. Arry untuk membesarkan subbagian ini hingga setara dengan bidang ilmu kedokteran lain dan disegani. Ia memang pantang menyerah.
Sikap pantang menyerahnya juga ditunjukkan saat melakukan penelitian. Ketika serum untuk penelitian tak mampu dibeli, ia memelihara kambing dan anak sapi untuk diambil serumnya. Memang terdengar unik, tetapi itulah Prof. Arry. Stafnya mengatakan, sulit menggantikan orang seperti Prof. Arry. Karena itulah, tak heran, ketika Prof. Arry sudah pensiun, ia masih disediakan ruangan khusus di subbagian ini untuk datang berbagi ilmu, berdiskusi dan melakukan hal lainnya.
Buku ini menggambarkan memoar Prof. Arry mulai dari masa kecil, kehidupan di zaman Soekarno, saat memilih menjadi dokter, memburu beasiswa, bertualang di negeri orang demi menuntut ilmu, mengembangkan Subbagian Hematologi, hingga menjadi anggota tim Dokter Kepresidenan di zaman Presiden Soeharto berkuasa. Bagi kalangan dokter dan mahasiswa kedokteran, kisahnya menunjukkan bahwa menjadi dokter juga membutuhkan sikap yang kadang harus out-of-the-box, kreatif, humanis, lapar terhadap ilmu, dan punya ambisi melahirkan ahli-ahli baru yang kelak menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Karena penyakit terus berkembang, ilmu kedokteran pun dituntut untuk terus dikembangkan lebih cepat lagi. Ketika penyakit AIDS merajalela di dunia dan dianggap penyakit tak bisa diobati, Subbagian Hematologi mampu melahirkan ahlinya di bidang itu yang tak lain adalah anak didik Prof. Arry. Ketika tuntutan teknologi dibutuhkan untuk menyembuhkan penyakit yang sulit diatasi, Prof. Arry menggagas dilakukannya transplantasi sumsum tulang belakang yang dianggap solusi terbaik mengatasi berbagai penyakit.
Konsepnya yang menarik adalah soal tata cara penanganan penyakit yang sulit disembuhkan seperti kanker. Selama ini dokter ahli terbiasa memagari keahliannya saat menangani seorang pasien kanker. Padahal untuk menanganinya, dibutuhkan sebuah tim yang terdiri dari banyak ahli bukan seorang dokter ahli saja. Konsep inilah yang ia harapkan bisa dilakukan dokter-dokter di Indonesia di masa depan. Jika ini dilakukan, seseorang yang terkena penyakit kanker pun yang sering dianggap tak bisa disembuhkan, tidak berarti ia tengah menemukan titik akhir hidupnya.