Tidak bisa dimungkiri, damai memang membawa berkah. Walaupun demikian, bisa jadi, tidak semua pihak senang ketika damai terwujud. Damai Aceh juga membawa berkah. Bagi masyarakat Aceh sendiri, damai menjadikan mereka bisa hidup nyaman, tanpa ada ketakutan dan kekhawatiran serta ancaman akan kehidupan dan masa depannya. Bagi pemerintah pusat dan daerah, dengan damai bisa membangun Aceh tanpa terkendala oleh konflik. Demikian pula dengan dunia internasional, tidak hanya lalu lintas laut di Selat Malaka menjadi aman, tetapi juga menjadi pembelajaran dan cermin bagi wilayah lain di dunia ini bahwa damai itu indah.
Bagi dunia akademis, Damai Aceh ibarat mata air perdamaian yang tak ada habisnya untuk dikupas, dipelajari, diteliti, dan dijadikan bahan acuan. Tak terbilang publikasi baik buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis, maupun disertasi, dan sebagainya, yang telah beredar berupa hardcopy, maupun softcopy di dunia maya. Baik disajikan dalam bahasa Indonesia maupun bahasa lain, khususnya bahasa Inggris. Baik yang memandang optimistis maupun pesimistis. Baik ditulis oleh pelaku maupun pengamat.
Ada sejumlah publikasi yang telah beredar. Sebagai contoh To See The Unseen, Kisah di Balik Damai di Aceh (2007) dan Keeping The Trust for Peace, Kisah dan Kiat Menumbuhkembangkan Damai di Aceh (2011), keduanya karya Farid Husain. Kalla dan Perdamaian Aceh (2008) karya Fachry Ali dan tim. Hamid Awaludin pada tahun 2008 juga menulis buku dengan judul Damai di Aceh. Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki. Ahmad Farhan Hamid (2006) menulis Jalan Damai Nanggroe Endatu, Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh. Katri Merikallio (2006) menulis buku berjudul Making Peace, Ahtisaari and Aceh. Darmansjah Djumala (2013) menulis buku dengan judul Soft Power untuk Aceh. International Crisis Group (ICG) dalam beberapa kali jurnalnya mengupas tentang damai di Aceh. Begitu pula LIPI, dan masih banyak lagi. Itulah sekelumit mata air dari perdamaian Aceh.
Namun, dibalik cerita tersebut, selama satu windu (8 tahun) perdamaian Aceh, belum ada buku yang diterbitkan tentang Aceh yang fokus mengupas tentang peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai bagian penting dalam ikut menciptakan, mengawal, dan mendukung serta berkomitmen penuh pada keputusan politik untuk menyelesaikan konflik Aceh melalui cara damai. Apalagi ditulis langsung oleh seorang prajurit TNI yang terlibat secara langsung selama 880 hari. Padahal TNI menjadi unsur penting dalam perdamaian Aceh.
Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto yang pada saat proses hingga implementasi MoU Helsinki menjadi Panglima TNI, mengatakan “Jika TNI tidak mendukung proses perdamaian di lapangan, maka proses itu akan ambruk. Sebaliknya, jika TNI mendukungnya, perdamaian akan mapan.”
Salah satu bentuk dedikasi TNI bisa dicontohkan dengan kemampuan mereka menahan diri untuk tidak membunyikan senjata. Satu letusan senjata tidak pernah terdengar sejak MoU Helsinki ditandatangani hingga perdamaian Aceh berusia lebih dari 3 tahun. Hingga saat ini (dan semoga seterusnya) tidak pernah ada lagi tembak-menembak antara GAM dan TNI secara berhadapan. Bisa dibayangkan, jika pada hari-hari, atau minggu-minggu, atau bulan-bulan awal MoU Helsinki terdengar bunyi senjata, walaupun mungkin itu hanya untuk menembak burung maupun hewan buruan lainnya, menjadi sangat sensitif bagi masyarakat Aceh, dan menimbulkan kecurigaan serta kekhawatiran sehingga kehormatan perdamaian pun akan menjadi rusak seketika.
Buku ini mengupas banyak hal, yang merupakan kumpulan catatan, refleksi, sekaligus kesaksian seorang prajurit TNI yang mendapat panggilan tugas memelihara perdamaian. Didalamnya disajikan tentang peran TNI sebagai bagian penting dalam upaya mendukung perdamaian di Aceh.
Di tengah sosok TNI yang sering dipojokkan dalam proses perdamaian, sebagai akibat warisan sejarah muram di masa lalu, di dalam buku ini secara terang benderang ditunjukkan bahwa TNI mempunyai komitmen yang kuat untuk tunduk pada MoU Helsinki yang telah ditandatangani kedua belah pihak yang sebelumnya bertikai. Ini penting untuk dijadikan catatan sejarah.
Sebuah ungkapan dari Mantan Panglima dan Mantan Menko Polhukam, Jend (purn) Widodo AS terhadap penulis buku ini menjadi sangat penting. Dikatakan Widodo:
Sebagai “The Last Warrior”, akhirnya Kolonel Laut (T) Soleman B. Ponto mendapatkan promosi jabatan dan kenaikan pangkat secara berturut-turut, yaitu menjadi Waaspam Kasal dengan pangkat Laksamana Pertama, dan menjadi Aspam Kasal dengan pangkat Laksamana Muda serta selanjutnya diangkat menjadi Kepala BAIS TNI. Kesemuanya tersebut tentunya juga merupakan refleksi pengakuan institusi TNI atas segala kemampuan dan profesionalitasnya yang menopang prestasinya, dalam penugasan khusus sebagai anggota Tim TNI pada proses perdamaian Aceh.
Sekali lagi saya ingin menyampaikan ucapan selamat kepada Laksda TNI Soleman B. Ponto. Semoga keseluruhan apa yang diungkapkan dalam buku ini akan menjadi “LESSON TO BE LEARNED”, bukan saja bagi kalangan TNI, tetapi juga bagi kalangan masyarakat bangsa, bahkan dunia dapat memetik pelajaran atas pengelolaan proses perdamaian di Aceh, sebagai sebuah “MODEL” Kebijakan Resolusi Konflik secara paripurna.
Sementara dalam sambutan di buku ini, Djoko Suyanto Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI, mengatakan: "Besar Harapan Saya bahwa isi buku ini akan menjadi goresan tinta emas yang mempunyai makna tersendiri bagi generasi penerus, khususnya bagi mereka yang ingin mengetahui fakta sejarah seputar peran TNI sebagai bagian penting dalam ikut menciptakan, mengawal dan mendukung serta berkomitmen penuh pada keputusan politik untuk menyelesaikan konflik melalui cara damai dan bermartabat"
Buku yang disajikan secara populer dan mengalir serta enak dibaca ini lengkap dengan data, angka dan catatan selama proses menjelang hingga implementasi MoU Helsinki.
Buku ini layak dibaca oleh: