“Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba. Jadi tetaplah bersemangat elang rajawali.”
Ir. Soekarno
Kutipan Bung Karno di atas menegaskan bahwa dunia ini sangat dinamis. Berubah mengikuti perkembangan. Terus bersemangat untuk bisa memberikan yang terbaik bagi rakyat. Aturan perundang-undangan pun demikian. Menurut para ahli ilmu hukum dan juga para ahli ilmu politik, konstitusi diterjemahkan sebagai kesepakatan politik, negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan yang juga bersifat “dinamis”.
Dari segi istilah, konstitusi (Inggris: constitution) berasal dari bahasa Belanda, constitutie (dalam bahasa Latin: constitutio, constituere; bahasa Prancis: constituer; bahasa Jerman: verfassung, konstitution). Konstitusi diartikan sebagai dokumen tertulis yang secara garis besar mengatur kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta lembaga negara penting lainnya. Konstitusi dan negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tanpa konstitusi, negara tidak mungkin terbentuk. Menurut C.F. Strong, fungsi konstitusi adalah untuk membatasi kewenangan tindakan pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah, dan untuk merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat.
Lahirnya UU Otsus Papua sejak era reformasi adalah bagian dari dinamisasi konstitusi sebagaimana dijelaskan di atas. Ungkapan C.F. Strong menjadi penguat niat “suci” dibentuknya aturan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dalam praktik bernegara, tidak jarang seseorang atau sekelompok orang menginginkan kekuasaan, tujuannya agar ia mempunyai hak memerintah, hak untuk mengatur atau mengelola, sampai pada hak untuk mengambil keputusan. Sekali lagi, aturan dibuat agar menjadi panduan, acuan, tuntunan, dan petunjuk demi kepentingan dan masa depan bersama.
Ketika saya kembali terpilih menjadi anggota DPR RI yang kedua kalinya, untuk periode 2019–2024, Prolegnas 2020–2024 memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Pemerintah sebenarnya menghendaki pembahasannya dilakukan pada 2020 mengingat ada keterdesakan. Pasalnya, peraturan tentang penyaluran dana Otsus Papua berakhir pada 2021 sehingga harus secepatnya ada payung hukum untuk anggaran tahun berikutnya. Jika tidak ada peraturannya, penyaluran dana Otsus tidak bisa atau sulit dilakukan. Oleh karena itu, UU Otsus Papua harus diubah. Namun, nyatanya, Prolegnas 2020 tidak memasukkan pembahasan revisi UU Otsus Papua.
Kemudian, pada akhir 2020, Presiden mengusulkan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua melalui Surat Presiden Nomor R-47/Pres/12/2020. Urgensi perubahan norma yang diusulkan oleh Presiden melalui RUU ini terkait penerimaan dalam rangka dana Otsus yang membutuhkan dasar hukum baru pada 2021 untuk keberlanjutan masa berlakunya dana Otsus dan sebagai upaya mitigasi turbulensi fiskal di Tanah Papua. Akhirnya RUU Otsus Papua masuk Prolegnas.
Sebagai tindak lanjut dari akan dibahasnya RUU tersebut, DPR mempersiapkan alat kelengkapan DPR RI berupa panitia khusus (Pansus). Pada 10 Februari 2021, delapan fraksi DPR RI mengirimkan anggotanya untuk masuk ke dalam Pansus pembahasan RUU Perubahan UU Otsus Papua. Dalam perkembangannya, saya terpilih menjadi ketua Pansus.
Kami kemudian melakukan proses penyerapan aspirasi. Terdapat tiga kubu di masyarakat Papua dalam menyikapi perpanjangan Otsus. Mereka adalah kubu pendukung perpanjangan Otsus, kubu penentang Otsus, dan kubu yang menyarankan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Otsus.
Bagi kubu pro Otsus, perpanjangan Otsus sangat penting untuk keberlanjutan pembangunan di Papua yang masih sangat jauh tertinggal dibanding daerah lain di Indonesia. Kelompok ini melihat bahwa, terlepas dari berbagai kekurangannya, implementasi Otsus selama dua dekade telah membuka peluang besar untuk mengejar ketertinggalan dan untuk melakukan perbaikan kesejahteraan masyarakat Papua. Otsus membuka kesempatan yang luas bagi anak-anak Papua untuk menjadi pemimpin dan elemen utama penggerak mesin pemerintahan di daerahnya. Otsus juga menyediakan sumber dana yang besar bagi percepatan pembangunan, mendorong bergulirnya roda perekonomian guna meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua. Karena itu, menurut mereka, Otsus perlu diperpanjang untuk memastikan seluruh proses tersebut tetap berjalan.
Sementara itu, bagi kubu kontra Otsus, pelaksanaan Otsus selama 20 tahun terakhir hanya memanjakan kalangan elite dan tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat Papua secara umum. Masyarakat Papua bahkan cenderung makin termarginalisasi dengan makin derasnya arus masuk masyarakat pendatang yang mendominasi sektor- sektor ekonomi. Kubu yang menolak ini mencakup kelompok mahasiswa, para tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat umum.
Kelompok ketiga adalah yang menghendaki adanya evaluasi menyeluruh sebelum melakukan revisi. Menurut mereka, yang perlu dievaluasi bukan hanya akuntabilitas penggunaan dana Otsus sebagaimana yang kerap disampaikan oleh elite-elite pemerintahan di Jakarta, melainkan seluruh aspek yang tertuang dalam UU Otsus.
Secara pribadi, saya cenderung memilih untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan mendalam terhadap UU 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Dalam beberapa kesempatan saya katakan, jangan sampai jatuh ke lubang yang sama setelah 20 tahun Otsus berjalan. Jangan hanya mencari kambing hitam atas tidak berjalannya UU ini. Jangan pula hanya menuntut hak, tetapi tidak mau melaksanakan kewajibannya. Idealnya, UU Otsus Papua harus dijadikan komitmen bersama untuk masa depan Papua, Indonesia, dan anak cucu kita.
RUU yang diusulkan oleh Pemerintah berisi perubahan terhadap tiga pasal, yakni Pasal 1, Pasal 34, dan Pasal 76, yang memuat materi mengenai dana Otsus dan pemekaran wilayah daerah. Kemudian, melalui rapat dengar pendapat (RDP) dan rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang dilaksanakan oleh Pansus, fraksi-fraksi di DPR berpandangan bahwa persoalan di Papua tidak dapat diselesaikan hanya melalui tiga pasal tersebut.
Dalam proses pembahasannya kemudian, fraksi-fraksi mengusulkan perubahan terhadap 15 pasal di luar substansi yang diajukan Presiden, ditambah dua pasal substansi materi di luar UU. Usulan itu bisa diakomodasi oleh Pemerintah sehingga pada perubahan kedua UU Nomor 21 Tahun 2001 itu terdapat 20 pasal yang mengalami perubahan. Ini menunjukkan bahwa aturan itu sangat dinamis. Sekali lagi, tujuannya untuk masa depan Papua.
Kubur Virus BEJ
Setelah buku komik Otsus Papua hadir sebagai upaya untuk menjelaskan secara mudah, komunikatif, dan populer tentang inti dari UU Otsus, sebagian pihak mengusulkan agar materi utuh dari UU Nomor 2 Tahun 2021 dicetak supaya bisa dibaca oleh sejumlah kalangan. Bahkan, tidak hanya itu. Pada sebagian pihak lagi, khususnya di birokrasi dan akademis, muncul wacana agar tidak hanya satu UU saja yang dicetak, tetapi semua yang terkait dengan UU Otsus. Itulah sebabnya buku ini hadir secara komprehensif.
Namun, ada pula pihak yang mengatakan, untuk apa mencetak buku? Bukankah dunia sudah ada dalam genggaman? Semua materi bisa diunduh (download), kapan saja dan di mana saja. Atas hal ini, saya menjawab dengan sederhana: Itu kalau Anda hidup di kota besar yang akses internet dan listriknya bisa 24 jam menyala. Itu bagi Anda yang memiliki uang untuk membeli pulsa setiap saat. Bagaimana dengan mereka yang kondisinya berbeda 180 derajat dengan kondisi tersebut? Tentu buku ini menjadi jawabannya. Belum lagi, jika mengingat keterbatasan dan kebiasaan orang membaca, memperhatikan, dan mempelajari materi hukum, tentu buku tercetak menjadi solusi dan paling mudah. Bagi sebagian pihak, perpaduan antara buku tercetak dan versi soft file (digital) tentu menjadi jalan terbaik dan ideal.
Buku ini hadir tentu karena peristiwa masa lalu yang telah ditorekan oleh para pelaku sejarah. Itu sebabnya, UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 dan juga UU serta aturan lain yang terkait disampaikan di buku ini termasuk foto-foto perjalanan dan para aktor yang terlibat. Ini wujud penghormatan saya sebagai penyusun buku ini kepada perjuangan para senior terdahulu sekaligus menjadi harapan bagi generasi saat ini dan masa depan tentang pentingnya memori, legacy, dan bahkan buku ini bisa menjadi ‘prasasti’ tentang bagaimana upaya sejumlah pihak berkontribusi terbaik untuk kesejahteraan Papua. Termasuk berjuang di tengah kondisi terancam akibat pandemi Covid-19. Kami sadar bahwa Otsus bukanlah jalan yang ideal, dan buku ini juga bukanlah ‘kitab suci’ yang berisi kebenaran mutlak. Namun, harus diakui bahwa Otsus menjadi jalan terbaik yang paling realistis, solutif dan efektif pada kondisi saat ini.
Pada cover buku komik Otsus Papua saya menegaskan, “UU OTSUS LAYAKNYA JALAN DAN PETUNJUK MENUJU HARAPAN. DIBUTUHKAN KEMAUAN, KOMITMEN DAN TANGGUNG JAWAB TOTAL DARI PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DI PAPUA UNTUK MEWUJUDKANNYA.”. Ini sebagai sebuah penegasan bahwa sudah saatnya kita semua, khususnya pemerintah pusat dan pemerintahan daerah di Papua, mengubur dalam-dalam virus blame excuse justify (BEJ).
Virus blame adalah penyakit menyalahkan orang atau pihak lain. Sering kali, untuk menutupi kekurangan dan kesalahan dirinya, dengan cepat menyalahkan faktor ekonomi, menyalahkan situasi, dan menyalahkan lingkungan. Virus excuse adalah penyakit mencari alasan atas ketidakmampuan, tetapi tidak mencari solusi. Hanya berkutat pada masalah justru akan membuat masalahnya bertambah besar. Sementara itu, virus justify atau pembenaran adalah upaya menutupi kelemahan atau kemalasan untuk berubah menjadi lebih baik dengan membenarkan keadaannya.
Tiga virus ini harus dibuang jauh-jauh oleh semua elemen, khususnya para birokrat yang ada di Jakarta dan Papua, agar kita bisa menata Papua menjadi lebih baik untuk diri kita dan, tentu saja, untuk masa depan generasi mendatang. Semua sudah ada, tanah, alam, aturan, dana, dan manusianya. Tinggal bagaimana menjalankannya. Ahli manajemen dunia Peter Drucker berpesan, “Sesungguhnya tidak ada negara yang miskin dan terbelakang, yang ada adalah negara-negara yang tidak terkelola (undermanaged) sekaligus tidak memiliki kepemimpinan (leadership) yang efektif.”.
Selamat menjalankan undang-undang ini dan turunannya dengan baik dan benar dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jayapura, Mei 2023
Komarudin Watubun, S.H., M.H.