Telkom go public pada 14 November 1995. Tak banyak yang tahu bahwa pemerintah hampir membatalkan IPO Telkom. Kejadian itu sempat membuat para petinggi Telkom kalang kabut. Jika pembatalan terjadi, bukan hanya merugikan Telkom tetapi juga Indonesia sebagai bangsa. Reputasi Indonesia akan hancur di pasar modal dunia. Direksi Telkom yang sebagian besar berada di New York karena sehari menjelang IPO, sampai mengancam Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Joop Ave, bahwa jika pembatalan terjadi, mereka semua akan mundur. Untuk mencegah pembatalan, Direktur Utama Telkom saat itu yang menjadi penulis buku ini, Setyanto P. Santosa, menghubungi Menristek BJ Habibie agar memberi penjelasan pada Presiden Soeharto dampak kerugian jika pembatalan itu terjadi.
Cerita itu sama sekali tak terendus media massa. Ada banyak cerita yang luput dari pengamatan media. Misalnya, bagaimana sengitnya tarik-menarik antara Direksi Telkom dan pemerintah (dalam hal ini Menparpostal dan Menteri Keuangan) untuk melosokan Telkom go public. Ada indikasi sejumlah tangan berperan agar mendapat untung besar dari IPO Telkom. Tapi karena Direksi Telkom dan tim pendukungnya berusaha berjalan lurus, sejumlah pejabat yang berurusan dengan IPO dipecat atau dirotasi menjelang IPO. Komisaris Utama Telkom yang juga Dirjen PBUMN saat itu, Martiono, dipecat hanya beberapa hari menjelang road show penjualan saham Telkom ke berbagai kota di dunia. Setyanto P. Santosa sendiri akhirnya dilengserkan di RUPS pertama Telkom setelah go public.
Buku Untold Story IPO Telkom di NYSE & BEJ ini menceritakan dengan gamlang apa saja untold story seputar IPO Telkom yang terkubur selama 22 tahun. Tak sekadar buka-bukaan, buku ini juga mengungkapkan bagaimana pembelajaran yang bisa dipetik dalam mempersiapkan IPO sebuah perusahaan raksasa sebesar Telkom yang harus dilakukan di bawah tekanan kiri kanan di era Orde Baru. Yang menarik, saat itu tak ada benchmark bagaimana meng-go-public-kan sebuah perusahaan. Jadi ini cerita autodidak semua pihak membawa perusahaan raksasa Indonesia, Telkom, mencatatkan sahamnya di bursa saham terbesar di dunia: Wall Street (NYSE). Direksi Telkom berusaha memprofesionalkan Telkom karena tuntutan persyaratan masuk Wall Street yang tidak bisa diganggu gugat dengan belajar secara autodidak, sementara ada banyak pihak yang juga belajar autodidak mengeduk keuntungan sebesar-besarnya dari go public-nya Telkom.
Banyak tatanan pasar modal Indonesia yang berubah untuk menyesuaikan IPO Telkom karena jumlah saham yang akan dijual begitu banyak. Sampai-sampai underwriter yang biasa hanya satu, khusus untuk Telkom ada delapan: 4 dalam negeri, 4 luar negeri. Bagi Telkom ini bukan berkah, tapi justru musibah. Melayani satu underwriter untuk menyiapkan data saja sudah kelabakan, bagaimana dengan delapan. Belum lagi antar-underwriter juga sering tak sejalan. Sampai-sampai untuk merumuskan data yang sumbernya sama-sama dari manajemen Telkom saja melahirkan prediksi yang berbeda-beda. Kejadian itu memunculkan perang adu prediksi yang seru di meja rapat.
Buku ini berbeda dengan buku yang membahas pasar modal pada umumnya. Buku ini ditulis dengan gaya bercerita melalui data, drama, disusun secara kronologis, dibumbui cerita-cerita lucu di tengah cerita menegangkan yang dialami tim Telkom dalam mempersiapkan IPO. Menarik sebagai bahan referensi bagaimana menggolkan perusahaan besar bisa go public dengan dual listing di BEJ (kini BEI) dan NYSE.