Disharmoni Peraturan Perusahaan BUMN

Minggu, 04 Mei 2014

DILEMA BUMN; BENTURAN PENERAPAN BUSINESS JUDGEMENT RULE (BJR) DALAM KEPUTUSAN BISNIS DIREKSI BUMN
Penulis: Dr. Drs. Prasetio, Ak, MHum
Penerbit: Rayyana Komunikasindo, Mei 2014, VIII + 448 halaman
____________________________________________________________________________________________

Bagai makan buah simalakama: dimakan, ibu mati, tak dimakan, bapak tewas. Begitulah kondisi seorang direktur sebuah perusahaan dalam menentukan nasib di antara pilihan sulit. Terlebih dalam mengelola perusahaan BUMN. Keliru sedikit dalam mengambil perhitungan, meski telah mempertimbangkan, urusan bisa panjang, bahkan sampai pada ruang tahanan.

Tak jarang, seorang direksi terlalu lebar mengambil ancang-ancang kebijakan. Bukan karena ragu-ragu, namun ia memilih main aman dalam menakhodai sebuah perusahaan pelat merah. Karena itulah banyak BUMN tidak maksimal dalam mengelola bisnisnya. Tuntutan meraih pendapatan dan pertumbuhan berubah menjadi beban. BUMN yang seharusnya menjadi alat negara untuk kenyejahteraan rakyat, di lain sisi menjadi panci bertekanan tinggi bagi CEO yang tak siap.

Contoh nyata dialami Hotasi Nababan. Direktur Utama Merpati Nusantara Airlines itu tersangkut kasus hukum. Dia dituduh merugikan keuangan negara. Mendatangkan dua pesawat dan membayar uang jaminan US$ 1 juta sebagai penjamin pembelian pesawat kepada pihak lessor, Thirdstone Aircraft Leasing Group, akhir 2006 lalu. Hotasi dianggap melanggar hukum.

Padahal, dana pengadaan pesawat diteken oleh semua direksi dengan alasan jelas sebagai proyeksi bisnis. Hanya saja, pengadaan dua pesawat itu tidak tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2006.

Dalam kalkulasi bisnis, tindakan direksi itu ternilai sebagai high risk dengan catatan akan mendulang keuntungan besar. Tentu sudah melewati kaidah business judgment rule (BJR), sebuah pelindung hukum direksi dalam mengambil keputusan sepanjang untuk kebaikan.

Hotasi pun tak sampai masuk jeruji besi. Pengadilan Tipikor Jakarta pada 2013 lalu memutuskan bahwa dia tidak bersalah. Perbuatannya dinilai dilakukan dengan hati-hati sesuai dengan kondisi perusahaan. Karena itu, tidak memenuhi pelanggaran good governance. Meski pada Mei 2014, dia di dakwa hukuman 4 tahun dan denda 200 juta oleh MA atas pengajuan kasasi JPU.

Dari kasus tersebut, buku ini merilis bahwa terdapat dilema yang dihadapi direksi BUMN dalam mengambil suatu keputusan penting. Terlebih, banyak penegak hukum yang sering menafsirkan kerugian pada BUMN (Persero) sebagai kerugian negara.

Buku hasil disertasi ini secara tegas menjelaskan bahwa BUMN sebagai perusahaan, dalam mencari peluang keuntungan beririsan dengan kerugian. Secara rasional mengajarkan bahwa bisnis adalah permainan risiko. Resiko besar akan mendapat keuntungan sekaligus kerugian besar. Karena itu, kerugian dalam sebuah bisnis, sepanjang dilakukan dengan baik dan benar, merupakan hal yang wajar. Hanya saja, pada tataran praktis, penerapan BJR sebagai pelindung hukum kadang diabaikan penegak hukum atas dalih unsur tindak pidana korupsi.

Sementara itu, terdapat benturan peraturan yang memungkinkan pelaksanaan BJR kandas untuk diterapkan. BUMN terikat delapan aturan, berbeda dari perusahaan swasta, yang hanya tiga peraturan terkait dengan pengelolaan perusahaan.

Kedelapan aturan itu pun tidak harmonis antara satu dan yang lain. Bagian itu, menurut penulis menjadi, "Salah satu tantangan bagi para pengelola BUMN dalam mengembangkan bisnis bangsa berkelas dunia." Sebuah tantangan, karena bila peraturan disharmoni tersebut masih diterapkan, tentu akan mematikan kreativitas dan inovasi bisnis pengelola perusahaan. Andi Anggana


Sumber Artikel : Arsipgatra.com

FeedBack