Sabtu, 23 September 2017
Palu, (antarasulteng.com) - Mantan Wali Kota Palu dua periode Rusdy Mastura kembali meluncurkan buku keduanya berjudul "Palu dan Godam Melawan Keangkuhan".
Buku setebal 332 halaman tersebut diluncurkan di Palu, Sabtu sore, sebagai kado ulang tahun Kota Palu ke-39 yang jatuh pada 27 September 2017.
Buku yang DIterbitkan Rayyana Komunikasindo, Jakarta tersebut menguak kisah di balik permohonan maaf pemerintah Kota Palu pada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia pada peristiwa 1965-1966.
Ikut hadir dalam peluncuran buku tersebut mewakili Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang saat bersamaan hadir di Palu pada pembukaan Festival Pesona Palu Nomoni II.
Buku tersebut juga mendapat testimoni dari sejumlah tokoh seperti Jimly Asshiddiqie (Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008), Saparinah Sadli (Ketua Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 1998-2004) dan Nur Kholis (Komisioner Komnas HAM).
Buku yang diluncurkan sendiri oleh penulis itu langsung dibedah oleh Antoprolog dari Universitas Tadulako Palu Hapri Ika Poigi dan pegiat sejarah Munawarah serta sejumlah undangan yang hadir dari berbagai komunitas di Kota Palu.
Peluncuran buku itu juga dihadiri sejumlah korban kekerasan pada 1965-1966 yang usia mereka rata-rata sudah senja. Salah seorang yang memberikan kesaksian pada peluncuran buku tersebut Asman Yodjodolo, yang ditangkap tanpa alasan jelas.
Dalam buku itu disebutkan korban kekerasan atas tuduhan terlibat dalam G30S/PKI sebanyak 768 orang. Dari jumlah tersebut 514 diantaranya telah diverifikasi. Hasil verifikasi menyebutkan 109 adalah pasangan suami istri.
Mereka ditangkap, ditahan dan dipenjarakan serta disiksa. Selain itu mereka juga mendapat kerja paksa dan wajib lapor.
Buku yang diterbitkan pada April 2016 tersebut baru dapat diluncurkan tahun ini karena bertepatan dengan momentum HUT Kota Palu ke 39 tahun.
Dalam buku tersebut, Rusdy Mastura mengisahkan perjalanannya hingga akhirnya dia atas nama pemerintah Kota Palu menyatakan permohonan maaf kepada korban kekerasan 1965-1966.
Mereka adalah korban akibat dari penumpasan terhadap tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) di Kota Palu.
"Saya bertemu dengan mereka. Tatapan mereka kosong. Hati kecil saya menangis. Kasihan mereka itu adalah korban yang tidak tahu menahu tentang pertiswa G30S/PKI," katanya.
Rusdy Mastura menegaskan permohonan maaf itu bukanlah permohonan maaf terhadap PKI, melainkan terhadap penanganan yang kurang bijak dalam memperlakukan korban.
Prinsip dari permohonan maaaf itu kata Rusdy adalah memberikan jalan terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia untuk masa depan mereka.
"Jadi permohonan maaf itu bukan melupakan masa lalu, melainkan memaafkan masa lalu demi menempuh masa depan yang lebih baik," katanya. (skd)
Sumber Artikel : Sulteng.antaranews.com
FeedBack