Sabtu, 03 Desember 2011
Filsuf Kierkegaard dan Satre mengatakan manusia mempunyai esensi yang mengatur dirinya berbuat. Manusia membentuk dirinya karena dia menetapkan pilihan-pilihannya. Tentang bagaimana jalan hidup yang akan dilalui atau pilihan tentang tindakan tertentu yang hendak dilakukan.
Secara kebetulan, saya menemukan sebuah korelasi dengan pengakuan Achmad Sujudi, penulis buku ini. Achmad Sujudi adalah Menteri Kesehatan kedua dalam 50 tahun terakhir yang menuliskan memoar atau otobiografinya. Menteri Kesehatan lainnya adalah Soewardjono Soerjaningrat.
Dalam bukunya, pria yang pernah menghuni Lembaga Pemasyarakatan Cipinang ini mengatakan, "Saya memilih untuk masuk ke Fakultas Kedokteran. Itulah pilihan awal. Kemudian pilihan-pilihan lain, sampai akhirnya saya masuk ke tahanan Cipinang, berlangsung terus-menerus. Apakah ke tahanan Cipinang saya rencanakan? Tentu tidak. Namun, bahwa saya kemudian sampai ke sana, itu karena saya membuat pilihan-pilihan. Pilihan itu saya jalankan dan berakibat masuk ke tahanan Cipinang" (halaman XIV-XV)
Buku ini dimulai dengan sebuah prolog yang merupakan sebuah renungan filosofis dalam pengalaman hidup dan tentang makna hidup. Di situ tampak perenungan yang mirip-mirip pembahasan tentang eksistensialisme. Prolog yang diberi judul "Dalam Hidup Kita Memilih dan Dipilih" itu menggambarkan spirit dari keseluruhan isi buku
Penulis buku ini menceritakan secara flashback ketika mulai menghuni "kampus" Cipinang. Secara bertutur, ia bertanya mengapa sampai mengalami musibah yang sangat menyedihkan ini. Ia pun mengisahkan asal-muasal dari musibah ini, berupa pelaksanaan anggaran biaya tambahan (ABT) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Departemen Kesehatan 2003. Karena "kepolosan"-nya, ia masuk jebakan yang akhirnya menyulitkan (halaman 65) dengan misteri keluarnya SK 1450/Menkes/X/2003, yang kemudian menjadi pangkal dari proses hukum. Ironisnya, sejumlah anggota stafnya yang mengaku menerima uang, cuci tangan ketika kesulitan menggulung.
Ia pun akhirnya diadili. Dalam buku ini, ia mengutip putusan hakim yang berbunyi, "Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis berpendapat bahwa terdakwa tidak menerima sejumlah uang dalam kaitannya dengan proyek pengadaan alat-alat kesehatan untuk kawasan timur Indonesia" (halaman 88).
Jika ditelusuri lebih lanjut, bottom line dari permasalahan Achmad Sujudi adalah buruknya sistem penganggaran pemerintah Indonesia. Ketentuan mengenai APBN sebenarnya menyatakan bahwa uang negara yang tersedia sudah dapat digunakan pada awal tahun anggaran. Padahal kenyataannya, semenjak 30 tahun yang lalu sampai hari ini, dana-dana pembangunan selalu datang terlambat dan dijajakan dalam keadaan tergesa-gesa. Apalagi yang namanya ABT, biasanya datang 2-3 bulan sebelum proses APBN ditutup atau berakhir. Keadaan ini selalu menimbulkan kekalutan yang kadang-kadang berakhir dengan sebuah kecelakaan.
Dalam memoarnya, Achmad Sujudi memang memberi saran agar dana pemerintah yang keluar mirip-mirip ABT hendaknya dapat dilaksanakan menembus tahun anggaran yang berlaku sehingga tetap ada cukup waktu untuk melaksanakannya dengan baik.
Lesson learned lainnya adalah agar staf seharusnya memberi pertimbangan yang cermat dan cerdas serta penuh kehati-hatian kepada atasan untuk mengambil keputusan. Nasihat-nasihat yang disampaikan harus disertai dengan standar moral yang tinggi. Semakin sulit atau semakin berisiko sebuah keputusan, maka pertimbangan-pertimbangan yang diberikan haruslah ekstrahati-hati.
Pesan lainnya, pemimpin juga harus berhati-hati dan waspada terhadap bawahan ketika harus mengambil keputusan yang sulit dan berisiko. Perlu ditetapkan proses administrasi yang baik sehingga keputusan atasan benar-benar telah melalui rangkaian birokrasi yang tepat.
Keprihatinan, keikhlasan, dan keinginan penulis agar tidak ada lagi "korban" seperti dirinya ditampilkan dari dipersembahkannya buku ini, selain untuk keluarga tercintanya, juga bagi generasi mendatang dengan harapan: semoga dapat menginspirasi. Sebab, buku ini juga menceritakan tentang sejumlah "aktor" dari orang "kecil" yang memberi makna dalam sejarah, maka, menurut pengakuan penulis, ia pun menjadikan "sejarah kecil" sebagai subjudulnya. Dan ini ia akui terinspirasi oleh buku karya wartawan senior, mendiang Rosihan Anwar.
Walhasil, saya menyimpulkan memoar ini merupakan buku bacaan yang sangat baik. Ia enak dibaca dan self explanatory. Walaupun alur cerita tidak selalu ditulis secara kronologi linear, susunan buku cukup sistematis. Gaya menulis mirip-mirip tutur kacarito dalam sastra Jawa yang penuh dengan pitutur. Bagi mereka yang masih menjabat menteri, sekjen, dirjen, dan direktur, memoar seperti ini wajib dibaca. Bagi orang awam pun memoar ini sangat berharga untuk disimak.
Broto Wasisto, Pengamat kebijakan kesehatan. Pernah menjadi direktur jenderal di Kementerian Kesehatan RI dan menjadi utusan Asia Tenggara pada Dewan Eksekutif WHO di Jenewa.
Sumber Artikel : Tempo.co
FeedBack