Fiat justitia et pereat mundus.
Ferdinand I (1503–1564)
“Meskipun dunia ini runtuh, hukum harus ditegakkan.” Demikian arti kutipan adagium di atas. Tentunya ini menjadi “cambuk” bagi para penegak hukum dalam ikut mewujudkan terciptanya ketertiban dalam masyarakat. Tak terkecuali di bidang lingkungan hidup. Oleh karena itu, ketentuan, “Barang siapa mencemarkan lingkungan, maka harus dihukum”, juga harus berlaku bagi siapa pun. Tidak peduli pejabat, pengusaha, ataupun rakyat kecil, apabila melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan, maka ia harus dihukum.
Harus diakui, hukum lingkungan merupakan bidang hukum yang relatif masih baru. Para pencari keadilan (masyarakat) dan aparat penegak hukumnya masih sering mengalami kebingungan. Misalnya, kepada siapa korban harus melapor, siapa yang berhak menjadi penyidik dalam kasus lingkungan, dan bagaimana proses beracara sejak kasus tersebut terjadi, sampai diajukan dan diproses di pengadilan.
Dalam proses penegakan hukum, unsur-unsur kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan naluri profesi dan kemanusiaan. Munculnya sejumlah pertanyaan kritis yang “menusuk” bagi seorang hakim harus terus-menerus melekat dalam nuraninya. Dukungan keilmuan, termasuk pendapat para pakar, menjadi poin penting dalam mengambil keputusan.
Gelora ini pula yang dialami oleh penulis dalam menangani kasus lingkungan hidup, pada sekitar dua dekade yang lalu, yang terus mengusik hingga penelitian ini dilakukan. Bagi penulis, dorongan yang lebih besar dalam melakukan penelitian hingga menjadi buku ini, tidak hanya sebatas untuk mempertahankan disertasi di ruang sidang. Namun, lebih dari itu, ini panggilan nurani yang bisa disumbangkan kepada publik, kepada bangsa, negara, masyarakat, dan generasi mendatang. Penulis berharap, buku yang berisi analisis dan gagasan serta solusi ini menjadi milik bersama untuk tujuan pembaruan hukum demi lingkungan hidup hari ini dan masa depan.
Formula hukum yang dituangkan dalam buku ini sebagai terobosan hukum dengan pendekatan interdisipliner yakni menggabungkan dua ilmu utama, yaitu Ilmu Hukum dan Ilmu Lingkungan. Predikat sebagai “terobosan hukum” ini disebabkan oleh mendesaknya kebutuhan akan langkah baru yang tepat, cepat, adil, dan tegas guna menghindari tertunda-tundanya proses pemulihan lahan gambut yang rusak akibat pembakaran. Urgensi provisionil yang bisa diberdayakan sebagai solusi ini, selaras dengan konteks kajian dan putusan perkara perdata menyangkut lahan gambut yang selama ini stuck.
Penulis buku ini menyebutkan ada tiga penyebab eksekusi pemulihan lahan gambut yang terbakar menjadi tidak terlaksana. Pertama, ketua pengadilan setempat belum memahami mekanisme pemulihan lahan gambut. Kedua, termohon eksekusi keberatan terhadap biaya pemulihan yang begitu besar yang dijatuhkan dalam putusan. Ketiga, objek pemulihan tidak jelas.
Dari sinilah terobosan teoretis dan praktis hadir untuk memberikan ‘arah’ pada peran hakim dalam “menciptakan” hukum guna dapat menyegerakan pemulihan lahan gambut yang rusak tersebut. Dalam hal ini, penulis menawarkan terobosan hukum agar majelis hakim dapat mengizinkan pelaksanaan pemulihan lahan yang rusak tanpa menunggu putusan berkekuatan hukum tetap, dengan mengajukan gugatan atau tuntutan provisionil.
Terdapat tiga elemen dasar sebagai jalan keluar yang penulis tawarkan sebagai terobosan. Pertama, pemulihan dilakukan tanpa menunggu putusan dalam pokok perkara tersebut berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Untuk itu, pemulihan diajukan melalui tuntutan provisionil beserta proposal pemulihan agar diputuskan pada sidang pertama secara sumir karena akan diperiksa dan dibuktikan lebih lanjut dalam pemeriksaan pokok perkara. Kedua, tuntutan provisionil disertai dengan permohonan untuk mengeluarkan (enclave) seluasan lahan yang rusak akibat terbakar dari keseluruhan lahan konsesi tergugat. Tujuannya untuk menentukan di samping objek pemulihan sekaligus juga sebagai objek sengketa. Ketiga, pemulihan dilakukan oleh penggugat dengan menggunakan dana penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UU Lingkungan Hidup.
Sebagai rekomendasi praktis, penulis menyarankan dua hal. Pertama, sudah waktunya Mahkamah Agung RI meningkatkan peran Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36 Tahun 2013 menjadi Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang mengatur penyegeraan pelaksanaan pemulihan lahan yang rusak sebagai solusi jangka pendek. Kemudian, sebagai solusi jangka panjang, disarankan kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan menambahkan ketentuan hukum acara yang bersifat khusus dalam penyelesaian perkara perdata lingkungan hidup di pengadilan.
Kedua, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat mengusulkan kepada Presiden agar segera menerbitkan peraturan pemerintah di bidang lingkungan hidup yang mengatur pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dan yang bertindak selaku pengawas dalam kegiatan pelaksanaan pemulihan lahan gambut yang rusak karena pembakaran tersebut, dalam hal ini, adalah pemerintah daerah setempat yang diwakili oleh dinas/badan lingkungan hidup setempat.
Tertundanya eksekusi pemulihan lahan gambut yang rusak telah menjadikan lahan gambut yang rusak makin bertambah rusak dan kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat penundaan tersebut makin bertambah besar. Alhasil, biaya pemulihan yang dikabulkan dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang dijatuhkan 5 (lima) tahun sebelumnya sudah tidak akan mencukupi lagi untuk membiayai pemulihan lahan gambut yang rusak tersebut apabila pemulihannya baru dilaksanakan pada saat ini.
Dengan demikian, tujuan penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam menjaga lingkungan yang baik menjadi tidak tercapai. Secara tidak langsung, telah terjadi disharmonisasi antara keinginan untuk menegakkan hukum lingkungan secara baik dan benar (das sollen) dengan pelaksanaan hukumnya di lapangan (das sein) yang dampak atau akibat yang ditimbulkannya sangat serius yaitu terjadinya degradasi terhadap lahan yang rusak sebagai akibat pembakaran.
***
Kata Mereka
Terobosan hukum yang disajikan dalam buku ini seperti menjawab adagium hukum yang berbunyi “justice delayed is justice denied”. Solusi berupa tindakan “penyegeraan” pemulihan lahan gambut yang rusak yang ditawarkan dalam buku ini seperti membuka jalan atas kebuntuan sekaligus menjawab kebutuhan tuntutan rasa keadilan dan kepastian hukum serta kemanfaatan, tidak hanya bagi manusia dan lingkungan hidup yang ada saat ini di suatu wilayah, tetapi juga bagi generasi mendatang di mana pun berada.
Prof. Dr. H.M. Syarifuddin, S.H., M.H.
Ketua Mahkamah Agung RI
Buku ini mempunyai konstruksi yang sangat bagus untuk masa depan lingkungan hidup. Salah satunya adalah masukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar Pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah di bidang lingkungan hidup yang mengatur pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebuah ide yang cemerlang.
Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar, M.Sc.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI
Tertunda-tundanya eksekusi pemulihan lahan seperti yang terjadi pada enam dari delapan putusan perkara pembakaran lahan gambut yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tentu memperparah kondisi lahan gambut bekas terbakar. Makin lama, keadaan gambut bekas terbakar tersebut makin memburuk, sehingga potensi penurunan fungsi gambut akan menjadi sangat besar. Perlu diketahui bahwa upaya pemulihan lahan gambut yang terbakar memerlukan waktu yang cukup lama, puluhan tahun hingga ratusan tahun. Solusi hukum yang disajikan dalam buku ini memberi harapan besar bagi lingkungan hidup.
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr
Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Selama ini putusan-putusan tentang perkara lingkungan hidup, khususnya perkara pembakaran lahan gambut, semuanya masih berfokus pada jumlah ganti rugi yang harus dibayar, dan belum semua berfokus pada upaya pemulihan lahan yang rusak. Padahal, secara nyata diketahui bahwa terlambatnya pemulihan lahan gambut yang terbakar menimbulkan dampak yang dahsyat. Penulis buku ini menyajikan pengalaman dan pemikirannya agar penanganan perkara lingkungan hidup ke depan dapat memberikan dampak positif bagi pulihnya lingkungan hidup melalui penyegeraan pemulihan lahan berdasarkan putusan provisionil.
Henri Subagiyo, S.H., M.H.
Mantan Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)