Membedah Dua Sisi dari Media Sosial

Sabtu, 23 Oktober 2021

Dalam penelitiannya, Boby Febriawan dan F. Anita Herawati dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta mengungkapkan bahwa pertumbuhan Twitter user di Indonesia meningkat drastik. Pada bulan Agustus 2012, bertambah 10 juta pengguna sekaligus menjadikan total pengguna Twitter Indonesia sekitar 29 juta. Tidak hanya menang jumlah, pengguna Twitter di Indonesia juga sangat aktif dalam posting dan conversation di Twitter.

Masih dari penelitian mereka, Kota Jakarta menjadi kota nomor satu di dunia dengan jumlah tweet terbanyak di dunia. Sedangkan Kota Bandung menduduki peringkat ke enam di dunia. Menariknya, di Indonesia, sosial media seperti Twitter tersebut kemudian dimaanfaatkan perusahaan atau agensi periklanan untuk melakukan kampanye periklanan karena perusahaan menyadari bahwa kontribusi media sosial tidak kalah besar dengan media konvensional.

Seorang konsultan marketing Kansas City, Laura Lake memaparkan betapa peran atau kontribusi penting sosial media dalam pemasaran. Yakni, mengenalkan identitas brand yang ditawarkan, menciptakan hubungan antara konsumen dengan brand, sosial media membuat produk “nyata” untuk konsumen dengan tidak hanya berbicara mengenai berita produk, tetapi juga berbagi kepribadian atau karakter dari brand, dan terakhir, menjalin komunikasi dan berinteraksi dengan target audience. Karenanya, peranan penting dan ditambah keaktifan serta banyaknya pengguna sosial media seperti Twitter tersebut, mendorong banyaknya promosi serta kampanye periklanan di Twitter.

Itu dari sisi marketing atau bisnis saja. Ternyata twitter juga dimanfaatkan untuk dunia politik. Kerjanya mirip, yaitu mengangkat nama yang ingin ditonjolkan, dan mendowngrade lawan politik yang tidak disukai.

Media sosial- tidak hanya Twitter- memiliki peranan yang sangat besar, baik positif atau negatif. Itulah sebenarnya yang ingin diungkapkan oleh dua penulis ini, Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono melalui tulisan buku yang berjudul “Medsos, di Antara Dua Kutub. Sisi Baiknya Luar Biasa, Sisi Buruknya Bisa Membuat Binasa.”

Tidak hanya buku yang luar biasa, penulisnya juga bisa dibilang bukan orang biasa. Budi Gunawan merupakan Badan Intelijen Negara (BIN) yang juga guru besar dalam Bidang Ilmu Intelijen Studi Strategis Kajian Keamanan Nasional Bidang Siber di Sekolah Tinggi Inteligen Negara. Lengkapnya, Jenderal Polisi (P) Prof. Dr. Budi Gunawan SH, MSi, pemilik 22 tanda jasa dari negara.

Sedangkan penulis kedua, adalah Komisaris Besar Polisi Dr Barito Mulyo Ratmono SIK MSi, Wakil Gubernur Sekolah Tinggi Inteligen Negara. Kolaborasi dua penulis ini tentu saja menghasilkan karya yang penuh dengan data dan fakta menarik, apalagi mereka memiliki sumber data yang berlimpah. Bagaimananpun basis dan tempat kerja mereka berdua tidak perlu disangsikan lagi. Istilahnya, semut yang tinggal di lubang yang paling dalam dan tersembunyipun, bakal terendus keberadaannya.

Ada 14 belas judul tulisan di dalam buku bersampul dominan hijau ini. Beberapa judul cukup menarik untuk disimak isinya.

Seperti, ”Ketika Media Sosial Tak Bisa Dipisahkan dari Kehidupan”, dalam halaman 19. Penulis memaparkan, Era Media Sosial 2.0, di mana pada tahun 2000 media sosial memperoleh kemajuan yang besar dengan banyaknya situs jejaring sosial yang bermunculan. Hal tersebut berpengaruh secara luas serta mengubah interaksi individu dan organisasi yang memiliki minat yang sama dalam bidang musik, pendidikan, film, dan persahabatan, berdasarkan jejaring sosial.

Jejaring sosial yang diluncurkan pada tahun 2000 antara lain LunarStorm, Cyworld, Rzye, dan Wikipedia. Kemudian, pada tahun 2001 diluncurkan Fotolog, Sky Blog, dan Frienster. Pada 2003, ada MySpace, LinkedIn, LastFM, Tribe.net, Hi5, dan lain-lain.

Lalu pada tahun 2004, lahir media sosial yang belakangan fenomenal, Facebook, juga Dogster, dan Mixi. Selama tahun 2005, nama-nama besar seperti Yahoo!360, YouTube, Cyword, dan Black Planet satu per satu menambah semarak jagak media sosial. (halaman 27).

Selanjutnya, pada halaman 33, penulis juga mengungkapkan bagaiman Media Sosial juga masuk dalam kajian ilmiah. Jan Kietzman, bersama teman-temannya (2021) dalam Social Media? Get Serious! Understanding the Functional Building Blocks of Social Media,” mendefinisikan media sosial dengan berpatokan pada tujuh blok bangunan fungsional yang membentuk media sosial, yaitu identitas, percakapan, berbagi, kehadiran, hubungan, reputasi, dan group.

Sementara itu, Axel Schultze, Chairman World Innovations Forum Foundation mengatakan, bahwa media sosial secara teoritis adalah teknologi untuk berbagi informasi dan memfasilitasi percakapan antara orang-orang dengan cara yang mudah dan dengan cara sosial. Dengan konsep ini, menurut Schultze, media sosial bekembang menjadi model keterlibatan yang memperkenalkan perubahan signifikan kepada masyarakat baik dalam hubungan bisnis maupun non-bisnis (halaman 39).

Ada sisi baik dari kehadiran media sosial. Bisnis terbantukan dengan media sosial. Ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Maxim Wolf, Julian Sims, dan Huadong Yang (2018). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa organisasi bisnis di Inggris telah menggunakan berbagai media sosial dalam menjalankan bisnisnya. Media sosial digunakan untuk bisnis, pekerjaan, politik, dan tentu saja sarana berkomunikasi (halaman 85). Apalagi pengguna media sosial menurut We Are Social, per Januari 2021 pengguna sosial mencapai 4,2 miliar atau 53,6 persen dari populasi dunia. Jumlah itu tidak mungkin diabaikan kalangan bisnis.

Lain halnya dengan Bill George, profesor management practice di Harvard Business School, dalam tulisannya Harvard Business Review, mengatakan bahwa media sosial telah berubah dari alat komunikasi pribadi untuk kaum muda menjadi sarana baru yang digunakan para pemimpin bisnis untuk mengubah komunikasi dengan karyawan dan pelanggan mereka. Dengan media sosial, transmisi informasi satu arah berubah menjadi dua arah (halaman 87).

Pengguna media sosial di Indonesia juga mngalami lonjakan. Sayangnya, ujaran kebencian juga mengalami kenaikan signifikan. Perubahan pola itu sedikit banyaknya punya andil pada peningkatan ujaran kebencian pada tahun 2017 yang disampaikan melalui media sosial. Menurut data Polri, jumlah ujaran kebencian yang terpantau pada 2017 sebanyak 3.325 kasus. Bandingkan dengan jumlah kasus pada 2016 yang sebanyak 1.829 kasus, atau naik sekitar 45 persen (halaman 130).

Tidak seluruhnya media sosial buruk. Ada sisi positifnya. Efek positif media sosial banyak hal.mulai dari membantu membangun komunitsa, sebagai konektivitas masyarakat, informasi dan pembaharuan, sebagai ajang bantuan, Pendidikan, tujuan mulai dan periklanan (halaman 147).

Dalam buku ini, penulis juga membahas soal konflik di media sosial, serta konflik akibat penggunaan media sosial. Mereka membahas secara detail mengenai dampak negatif yang ditimbulkan dari konflik tersebut, termasuk menyebut indikator-indikator konflik yang terjadi. Menariknya, penulis juga memberikan solusi mengatasi konflik yang terjadi.

Buku ini layak untuk dibaca dan dikoleksi. Hadirnya buku ini semakin menambah literasi soal media sosial, karena media sosial begitu cepat berkembang. Penelitian soal media sosial di dalam negeri juga cukup banyak dan akan menarik untuk dijadikan buku seperti ini, sehingga masyarakat semakin mendapat pilihan bacaaan terkait dengan media sosial. Selamat membaca

Heru Setiyaka, M.Psi

Penulis lulusan Pascsarjana Magister Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, bekerja pada perusahaan konsultan di Jakarta.


Sumber Artikel : indonesiyes.com

FeedBack