Selasa, 24 Maret 2020
INILAHCOM, Jakarta - Berkat kerja kerasnya mengenalkan wisata Papua kepada dunia, putra Papua bernama Maximus Tipagau, berhasil meraih Penghargaan Kick Andy Hero 2020, Minggu(22/3/2020).
Dengan modal gaji selama bekerja di Freeport sebelumnya, dia mendirikan usaha jasa wisata. Tidak main-main, bisnis wisatanya yaitu membawa pendaki-pendaki premium, khususnya dari luar negeri ke puncak Cartenz, yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Lorentz.
"Ini sebagai wujud kecintaan saya kepada bumi Cendrawasih, saya membuat bisnis untuk mengenalkan Papua kepada dunia," ujar Maximus, putra asli Papua dari suku Moni ini.
Selain itu, Maximus juga aktif mempromosikan Cartenz pada Word Travel Market (WTM) Program di London pada 3-6 November 2014, dan di Internationale Tourismus-Brse (ITB) Berlin, sebuah ajang promosi wisata terbesar di dunia, sejak 2010. Dia juga mendirikan perusahaan konstruksi Baenggela, dengan karyawan 600 orang, dan menjadi salah satu pelaksana pembangunan Trans Papua. Kemudian, Maximus juga mendirikan perusahan Papua Global Investment.
Tak hanya meraih penghargaan Kick Andy Hero 2020, Maximus Tipagau yang sering dipanggil Masmus oleh rekan-rekannya juga pernah mendapat penghargaan lain seperti Penghargaan dari Kapolri 2017 untuk Pemecah Rekor Bersama Pendaki Cartenz Wanita Terbanyak Pertama di Dunia, The Top Ten The 2018 Most Influential People in Indonesia 2018. Kisah hidup sosok yang dilahirkan di Kampung Bulapa, Desa Yoparu, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan, Propinsi Papua pada tanggal 7 Mei 1983 ini, ia tuliskan di buku bertajuk "Maximus dan Gladiator Papua" yang terbit pada tahun 2016.
Sementara itu, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi (PJLHK) Kementerian LHK, Nandang Prihadi mengatakan, izin wisata alam yang dijalankan Maximus, diperoleh dari Balai Taman Nasional Lorentz, yaitu Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (IUPJWA) Nomor : 43/T.27/TU/Um/12/2019 tertanggal 11 Desember 2019 tentang Pemberian IUPJWA kepada Papuan Mountaineering Association berupa Perjalanan Wisata Alam, Persewaan Peralatan Wisata Alam dan Cinderamata di Kawasan Taman Nasional Lorentz pada Zona Pemanfaatan di Jalur Pendakian Puncak Carstenz di Kabupaten Mimika, Kabupaten Intan Jaya dan Kabupaten Puncak di Provinsi Papua.
"Selain itu, saat ini Maximus juga sedang mengajukan Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) untuk lebih memajukan wisata alam di Taman Nasional Lorentz," tuturnya.
Berbicara tentang perjuangan hidup seorang Maximus tidaklah mudah. Maximus, sulung dari 3 bersaudara, sudah harus menjadi yatim piatu sejak umur 7 tahun.
"Dengan usia sekolah saya waktu itu, saya tidak mungkin tinggal diam, untuk saya belajar tidak mungkin lagi, tidak ada sekolah disana, satu-satunya adalah saya harus kenal dengan orang bule di Freeport dan menjadi tukang kebun, itu ada dua tujuan agar saya bisa bertahan hidup agar tidak mati dan kedua, saya bisa belajar dan berbahasa asing," ujar Maximus dalam wawancaranya dengan Kick Andy.
Setelah 14 tahun bekerja di Freeport, ia memutuskan keluar meninggalkan Freeport karena ingin membantu masyarakat Papua agar maju. Cita-citanya waktu itu adalah mendirikan sekolah dan "Dokter Terbang". Sempat menjadi staf khusus Presiden 2014-2016, Maximus memilih kembali ke Papua agar fokus untuk melakukan kegiatan sosial bersama Yayasan Somatoa yang ia dirikan pada tahun 2012.
Bekerjasama dengan Doctor Share, Yayasan Somatoa menjalankan program Dokter Terbang yaitu menerbangkan dokter-dokter ke daerah-daerah yang tidak punya akses kesehatan. Dalam program ini Maximus menyediakan pesawat dan logistik. Selain itu, yayasan ini memberdayakan masyarakat dengan memproduksi garam di atas gunung, mendirikan sekolah di desa tertinggi di Papua serta membantu sarana belajar untuk anak-anak dan remaja di Papua.
Tekadnya yang kuat untuk mengubah perjalanan hidupnya sekaligus sebagai aktivis lingkungan dan pejuang/peduli konservasi di tanah papua. Tak hanya dirinya yang merasakan hasil jerih payahnya, namun masyarakat Papua pun mendapatkan manfaat darinya. [*]
Buku setebal 424 halaman ini, memaparkan dengan gamblang perjalanan hidup Maximus yang terjal berliku. Sejak kecil hidupnya sulit dan pahit. Di usia 7 tahun ia telah menjadi anak yatim piatu.
Ayahnya, Nico Tipagau adalah seorang panglima perang yang disegani dari desa Ugimba dan ibunya bernama Milian Kobogau, putri kepala suku dari desa Bulapa.
Desa Ugimba dan Bulapa, adalah berada di kisaran ketinggian 4000 mpdl dengan kemiringan hingga 60 derajat. Wilayah yang terletak di ‘halaman belakang’ Freeport adalah daerah yang terpencil dan terisolir. Berjarak beberapa kilometer dari puncak Cartenz. Daerah ini di huni oleh Suku Moni.
Maxi kecil dididik oleh orang tuanya untuk menjadi pekerja keras. Kerja dulu baru makan, demikian katanya dalam buku ini. Setiap pagi ia membantu mamanya mengisi air sebelum berangkat ke sekolah dan harus berjalan berkilo-kilo meter untuk sampai disekolah.
Ayahnya memiliki harapan besar agar suatu saat nanti ia menjadi panglima perang seperti ayahnya dan kakek buyutnya, namun kelak ketika ia dewasa ia menjadi menjadi ‘panglima perang’ di medan yang berbeda, yakni bisnis.
Duduk di kelas 4 SD, Maximus masih belum bisa membaca, menulis dan belum fasih berbahasa Indonesia. Ia terpaksa putus sekolah setelah kedua orang tuanya meninggal.
Meski punya nenek, Maximus memilih hidup sendiri. Ia mencari pekerjaan apapun untuk menghasilkan uang. Ia mengangkut tas geolog asing yang melakukan penelitian di desanya, menjadi porter di lapangan terbang dan mengangkut sayuran dengan jarak tempuh berkilo-kilo meter.
Di usia yang belum genap 10 tahun Maxi mencoba melamar pekerjaan di Tembagapura, kawasan Freeport. Meski, beberapa kali ia diusir sekuriti, ia tak kehilangan akal. Karena kegigihannya Maximus pun diterima bekerja sebagai tukang kebun di kompleks pejabat tinggi Freeport.
Di usia 14 tahun, Maximus ‘nekat’ untuk melamar bekerja di Freeport, meski tak tamat sekolah, bahkan ijazah SD pun tak punya. Ia pantang menyerah dan segala upaya ditempuhnya agar bisa diterima bekerja di Freeport.
Buku ini bercerita tentang bagaimana Maximus pantang menyerah meyakinkan orang – orang disekitarnya bahwa ia layak untuk dipekerjakan, bagaimana ia belajar untuk meningkatkan karir dari tukang parkir truk raksasa hingga jadi operator truk raksasa, bahkan menjadi instruktur operator alat berat yang pesertanya para sarjana.
Buku ini juga menjadi pergumulan pribadinya tentang kekayaan alam Papua yang kontradiktif dengan kehidupan warganya. Sebagai Putra Papua, dari Suku Moni, dimana Freeport beroperasi di wilayah yang menjadi hak ulayat sukunya, namun hingga kini warga di Ugimba dan Bulapa masih terisolir, jauh dari akses pendidikan dan kesehatan membuatnya tergerak melakukan sesuatu.
Di akhir buku ini dikisahkan, bagaimana Maximus pada akhirnya memutuskan untuk keluar dari Freeport, membangun perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata dan bagaimana ia bekerja keras mempromosikan Cartenz Pyramid dalam pameran wisata di berbagai negara di dunia.
Maximus & Gladiator Papua, ditulis oleh Maximus Tipagau, diterbitkan oleh Penerbit Rayyana Komunikasindo, Jakarta, dengan nomor ISBN 978-602-70792-7-4. Cetakan pertama September 2016.
Buku ini saya rekomendasikan sebagai bahan bacaan yang menginspirasi. Ada banyak kejutan dalam buku ini yang bikin haru, trenyuh dan membelalakan mata. Buku ini juga menawarkan perspektif lain tentang perjuangan hidup, tekat dan kerja keras. Keberhasilan adalah keniscayaan bagi siapapun yang berjuang dengan sungguh – sungguh.
Review by Yulika Anastasia
Sumber Artikel : Inilah.com
FeedBack