Kamis, 31 Mei 2007
Bermula dari sebuah warung makanan khas Aceh yang dikenal dengan julukan ''warung pagi-sore'' di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta. Yang biasa duduk, mengobrol, dan makan di sana tentulah orang-orang asal Aceh. Suasana Aceh sangat kental terasa di situ.
To See the Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh
Penulis: Farid Husain
Penerbit: Health Hospital Indonesia, Jakarta, April 2007, 291 halaman
Bermula dari sebuah warung makanan khas Aceh yang dikenal dengan julukan ''warung pagi-sore'' di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta. Yang biasa duduk, mengobrol, dan makan di sana tentulah orang-orang asal Aceh. Suasana Aceh sangat kental terasa di situ.
Dari situlah, ternyata, sebuah langkah awal dimulainya penjajakan pemecahan masalah perdamaian di Aceh. Farid Husain bukan tanpa alasan kerap mampir ke warung itu pada pagi hari sejak pertengah tahun 2003. Ia tengah mengemban tugas penting yang dibebankan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Jusuf Kalla. Ia harus bisa menjalin kontak dengan tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan mengajak mereka bicara secara informal.
Ia tidak sekadar sarapan pagi di warung yang suasanya jelas-jelas terasa asing itu. Di situ, ia mencoba memahami dulu cara berpikir dan bagaimana mendekati orang Aceh. Sekaligus pula mengumpulkan sebanyak mungkin informasi awal tentang apa saja yang bisa dijadikan solusi untuk perdamaian di bumi Serambi Mekkah itu.
Memoar yang diawali dari cerita tentang warung ini menarik. Farid dengan gamblang mengungkapkan berbagai pengalamannya sebagai troubleshooter yang bergerak di bawah tanah. Berbekal informasi obrolan ala warung itu, ia dapat mengetahui peta sebenarnya kekuatan GAM dan siapa saja tokohnya yang perlu didekati. Sehingga ini mempermulus jalannya untuk menunaikan tugas berat yang dibebankan kepadanya.
Tokoh kunci yang berperan dalam membuka keran hubungan dengan tokoh-tokoh GAM itu ternyata bernama Mahyudin. Dari informasi warung itu pula, Farid yakin tentang peran penting sosok ini. Perkenalan dengan Mahyudin ini pula yang membawa dia bisa membangun hubungan emosional yang dekat dengan para panglima GAM, seorang di antaranya Muzakkir Manaf.
Penugasan dari Jusuf Kalla pula yang membawa Farid yang sebenarnya berprofesi dokter dan menjabat sebagai Dirjen Bina Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan, itu berkelana ke hutan dan bahkan ke mancanegara menemui tokoh-tokoh GAM. Ceritanya cukup ''basah'' dan banyak informasi yang tak umum tersaji dalam buku ini tentang latar belakang keberhasilan perdamaian dengan GAM.
Erwin Y. Salim
REHAL II
-----------------------------------
Talangsari 1989; Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung
Penulis: Fadilasari
Penerbit: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (Jakarta) dan Sijado (Lampung), Maret 2007, XII + 125 halaman
-----------------------------------
Talangsari. Sebuah nama yang mengingatkan pada Pelanggaran HAM Talangsari 1989. Peristiwa ini terjadi di Dusun Talangsari III, Lampung Timur. Nun jauh disana, terdapat kelompok pengajian. Jemaah kelompok ini tak hanya mempelajari agama saja, melainkan kerap juga mengkritik pemerintah. Pemerintah dianggap melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pancasila, UUD 1945, dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dianggap produk gagal. Mereka juga mengatakan bahwa program Keluarga Berencana (KB) membunuh manusia yang akan dilahirkan.
Hal lain yang diyakini kelompok ini, bendera Merah Putih adalah benda mati dan tidak boleh dihormati. Mereka percaya bahwa hanya Allah yang harus dihormati secara mutlak. Anggapan ini pula yang membuat mereka menolak perintah pemerintah desa untuk mengibarkan bendera pada peringatan hari besar nasional.
Kelompok Lampung ini bertemu dan bergabung dengan kelompok Jakarta yang sealiran. Dampaknya, aktivitas mengaji berkurang, tetapi memanah, bela diri, dan merakit bom menjadi kegiatan sehari-hari.
Pengajian ini dirancang dalam jangka panjang untuk mendirikan negara Islam. Proyek pertamanya adalah menciptakan ''kawasan Islami''.
Pertengahan Januari 1989, truk yang mengangkut bambu dari desa untuk kelompok ini dicegat oleh aparat pemerintah desa. Pertengkaran demi pertengahan pun terjadi. Hingga terjadi penangkapan beberapa jemaah oleh Koramil Way Jepara. Ketengangan semakin memuncak ketika Danramil Way Jepara, Kapten Soetiman, tewas.
Setelah itu, 40-an anggota Polri dan Brimob dibantu tiga peleton pasukan Korem 043 Garuda Hitam menyerang kelompok itu. Jemaah yang di dalam pondok berusaha keluar dengan menjebol dinding. Dalam catatan penulis, lebih dari 300 orang menjadi korban. Islah (perdamaian) sempat dilakukan oleh bekas jemaah. Tapi sebagian dari mereka merasa tertipu sehingga mencabut islah itu.
Penulis mampu menuliskan cerita ini dengan rinci dan detail. Nama-nama korban juga dicantumkan. Buku ini juga mengungkapkan jenis-jenis HAM yang dilanggar aparat negara. Beberapa di antaranya adalah penghilangan nyawa manusia, penangkapan, dan penahanan tanpa sebab jelas, juga penyiksaan dalam tahanan.
Rach Alida Bahaweres
Sumber Artikel : Arsip.gatra.com
FeedBack