Selasa, 19 November 2013
TNI DAN PERDAMAIAN DI ACEH; CATATAN 880 HARI PRA DAN PASCA-MOU HELSINKI
Penulis: Laksda TNI Soleman B. Ponto, ST, MH
Editor: Salim Shahab & Eben Ezer Siadari
Penerbit: Rayyana Komunikasindo, Jakarta, 2013, xxvii + 704 halaman
Aceh memang wilayah yang fenomenal. Ketika konflik berlangsung hampir 30 tahun, Aceh ibarat air mata kesedihan dan kesengsaraan. Namun, begitu perdamaian terwujud, yang ditandai MoU Helsinki di Finlandia, 15 Agustus 2005, Aceh menjadi mata air harapan dan perdamaian bagi wilayah lain yang sedang berkonflik, baik di dalam maupun di luar negeri.
Perdamaian Aceh pun menjadi mata air kajian. Sejak tahun 2006 sampai 2013, tercapat ada sejumlah buku dan puluhan tulisan yang mengupas tentang proses perdamaian di Aceh. Dari sejumlah publikasi, penerbit mengklaim, ini adalah buku yang pertama kali mengupas peran penting Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam perdamaian Aceh dan ditulis seorang prajurit TNI yang selama 880 hari terlibat langsung.
Memang tidak mudah melihat posisi TNI dalam mengubah paradigma dari petempur menjadi pendamai. Hal ini diakui Bambang Darmono, yang menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan (Pangkoops) saat menumpas gerilyawan, lalu menjadi tim perunding kelompok militer, dan selanjutnya menjadi ketua perwakilan Republik Indonesia untuk AMM (Aceh Monitoring Mission).
Bambang, dalam endorsement-nya mengatakan, "Bagi TNI, bukan hal yang gampang, baik dari sisi ideologis, teknis, maupun emosional untuk bernegosiasi dengan pemberontak yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, sebagai keputusan politik negara, maka TNI harus berkomitmen untuk menjalankannya, dengan segala potensi yang dimilikinya, mulai dari persiapan/pra-MoU Helsinki hingga implementasi."
Soleman B. Ponto, penulis buku ini, terlibat dalam tiga tahap proses perdamaian Aceh. Pertama, sejak putaran keempat (dari enam putaran) perundingan di Helsinki hingga ditandatanganinya MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Kedua, sejak implementasi MoU hingga 15 Desember 2006. Yakni, saat berakhirnya masa tugas AMM, sebuah lembaga yang dibentuk dengan anggota dari Uni Eropa dan ASEAN untuk kepentingan implementasi MoU Helsinki. Ketiga, saat pasca-AMM hingga ia ditarik kembali ke institusi awal, Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI. Ia juga menjadi the last warrior di antara tim TNI yang bertugas pada periode itu.
Dalam 880 hari inilah Soleman berkesimpulan bahwa keberhasilan TNI disebabkan tiga komponen utama sehingga mampu menjalankan tugas dengan baik. Komponen pertama adalah pucuk pimpinan, yakni Panglima TNI. Komponen kedua, TNI yang ikut dalam perundingan, yakni Bambang Darmono, Soleman B. Ponto sendiri, dan Sonny E.S. Prasetyo. Adapun komponen ketiga yaitu pasukan di lapangan. Jika salah satu dari tiga komponen tidak sejalan, peran TNI dalam mendukung perdamaian di Aceh pun gagal.
Profesionalisme TNI inilah yang menjadikan Pieter Feith, Kepala AMM, makin optimistis bahwa perdamaian Aceh akan berjalan sukses. Melalui Sofyan Djalil, salah seorang dari tim perunding, Feith mengatakan bahwa awalnya dia berpikir pasukan TNI tidak terkoordinasi dengan baik, kumpulan tentara liar tanpa komando, atau orang Inggris menyebutnya rag-tag army, militer yang berbuat sesuka hatinya, beroperasi sendiri-sendiri.
Menurut Sofyan, pikiran itu muncul, barangkali, karena Feith terpengaruh berbagai pemberitaan dan juga pernyataan orang-orang GAM bahwa TNI brutal, memerkosa perempuan, dan membunuh orang yang tidak bersalah. Namun, akhirnya, Feith dapat menyaksikan sendiri hal yang sebaliknya. Dia melihat demikian terkontrolnya pasukan TNI, dengan rantai komando yang berjalan dengan baik. Sampai ke desa-desa terpencil pun dia bertemu dengan tentara yang begitu berdisiplin.
Apa perintah dari Jakarta dan apa perintah Panglima, sampai ke bawah dan dilaksanakan dengan baik. Dan, di sanalah Feith menyadari bahwa TNI adalah militer modern. TNI bukan seperti yang dibayangkan banyak orang, sebagai tentara liar yang tidak berbeda dari tentara dunia ketiga yang lain, yang bergerak sendiri sebagaimana lazimnya tentara yang ditugaskan menumpas para gerilyawan. Begitu kata Feith, seperti dituturkan Sofyan Djalil.
Penulis buku ini berupaya seimbang dalam mengamati berjalannya perdamaian Aceh yang telah berusia satu windu. Tidak hanya pekerjaan rumah (PR) bagi pihak eks GAM yang belum dilaksanakan, seperti soal perdebatan antara Jakarta dan Aceh terkait dengan lambang, serta isu pembubaran GAM, melainkan juga PR bagi Pemerintah Indonesia, seperti soal pembentukan pengadilan HAM.
Fryda Lucyana
Pemerhati perdamaian
Sumber Artikel : Arsip.gatra.com
FeedBack