Cerita Dirut Peruri Resign dari Merpati

Rabu, 12 Oktober 2016

Selama 20 tahun  Prasetio menapaki karier prefesionalnya. Sebelum menjabat sebagai Direktur Utama Perum Peruri, pria kelahiran tahun 1960 itu, telah menjajal berbagai peran, mulai dari Senior Vice President- Risk Management Head di BPPN, Direktur Compliance & Risk Management di Telkom, Direktur di PT Bank Danamon Indonesia Tbk, hingga Direktur Keuangan PT Merpati Nusantara Airlines (MNA).

Namun, dari berbagai pengalaman malang melintang di berbagai perusahaan, perjalanan kariernya di PT Merpati Nusantara Airlines satu tahun (2004-2005) boleh dibilang pengalaman yang cukup membekas. Secara pribadi ia menyebutnya sebagai 'perjalanan karier paling menantang'.

Bagaimana tidak, ketika itu ia menyebutkan masuk di Merpati pada saat kondisi Merpati sedang parah. Laporan keuanganya ketika itu bisa dibilang sangat 'berdarah-darah'. Permodalannya sudah pada tahap negatif dengan tumpukan hutang yang menggunung.

Uniknya, menurut dia, permasalahan BUMN penerbangan acapkali tidak hanya dipandang masalah penerbangan semata. Tiap kali membicarakan MNA, selalu muncul pemaknaan yang bersifat historis, idealistis, dan bahkan cenderung mengarah ke romantisme masa lalu. Celakanya, hal tersebut justru, menurut dia mengaburkan jati diri Merpati sebagai badan usaha.

Singkat cerita sebagai seorang bankir yang profesional yang diterjunkan ke Merpati, ia sadar betul banyak harapan ditaruh di pundaknya agar bisa membawa Merpati bangkit. Berdasarkan hasil analisisnya ketika itu, ia menyatakan bahwa langkah terbaik menyelamatkan Merpati adalah melakukan kebijakan radikal, salah satunya penghentian operasi sementara untuk mencegah kerugian yang lebih besar.

Berbagai catatan ia ceritakan menjadi dasar pertimbangannya, antara lain ketidakmampuan Merpati membiayai pengeluaran operasi sebesar Rp 50 miliar dan total kewajiban jatuh tempo sebesar Rp 500 miliar per Maret 2005. Untuk membayar gaji karyawan pun, ketika itu menurut dia, terpaksa ditutup dengan program advance sales forward ticket yang notabene tanpa didukung atau dijaminkan alat produksi atau pesawat reliable.

Dengan kualitas aset produktif yang buruk dan tingginya operasional, ia paham betul bahwa kerugian yang makin besar hampir dapat dipastikan tidak bisa dihindari apabila tidak ada langkah turnaround yang radikal. “Kinerja ini jelas menunjukkan bahwa perseroan telah dipaksa beroperasi dengan cara yang tidak sehat dan berisiko," dia menegaskan.

Puncaknya terjadi pelanggaran prinsip terhadap penerapan good governance, seperti pelanggaran covenant Bank Mandiri berupa penjualan beberapa agunan pesawat dan tambahan pinjaman baru dari lembaga non bank tanpa didahului oleh proper consent approval dan adanya default kepada pemerintah berupa penyalahgunaan WAPU Pajak PPN/PPH yang semuanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas.

Secara pribadi ia merasa cara gali lubang tutup lobang untuk memperpanjang 'nafas' dan menunda kematian Merpati tidak bisa dilakukan lagi. Merpati harus melakukan restukturisasi total meliputi negosiasi utang dan kewajiban kepada vendor berupa penawaran cash settlement dengan diskon atau reshduling utang dalam jangka waktu yang panjang sesuai kemampuan cash flow.

prasetio Prasetio di acara bedah buku di PPM School of Management

Selain itu diperlukan paket pensiun dini karyawan untuk menurunkan jumlah karyawan dari 2.500 menjadi hanya 500 karyawan. Juga, merancang bisnis yang sama sekali berbeda yaitu mengarahkan Merpati menjadi low cost carrier. Kebetulan saat itu ia mengatakan telah melakukan pembicaraan dengan Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar dan dengan Mantan Direktur Utama Garuda Robby Djohan tentang wacana LCC untuk selanjutnya digabung dengan  Citilink. “Gagasan ini kemudian ditentang, terutama oleh orang dalam Merpati sendiri, yang masih dibuai oleh romantisme masa lalu, dan itu memang dapat dimaklumi,” ujarnya.

Penolakan itu akhirnya berbuntut pada pengunduran diri Prasetio setelah 10 bulan lamanya mengabdi di Merpati. Dalam surat pengunduran dirinya, ia mengungkapkan alasan mundur semata-mata sebagai konsekuensi dan sebagai bentuk tanggung jawab profesionalitas setelah melihat dan mengkaji jalannya perseroan yang masih terus merugi secara operasional.“Ini adalah waktu yang pendek, tapi saya memahaminya sebagai sebuah ujian yang luar biasa bagi integritas sekaligus ketegasan sikap dalam mengambil keputusan,” ujarnya.

Ia paham betul bahwa tanggung jawab sebagai penjaga gawang manajemen risiko bukan perkara mudah. Dalam semua keputusan, ia percaya bahwa praktik asas kehati-hatian, prudent harus dikedepankan, walaupun hanya sendirian yang mempertahankan prinsip, dan berhadapan dengan kolega-kolega lain dalam artian seseorang harus siap tidak populer, bahkan cenderung dijauhi.

Tujuh tahun setelah pengunduran dirinya, pada 2014, Merpati memang benar-benar berhenti beroperasi sebagaimana yang ia usulkan. Namun kali ini keadaannya lebih gawat, Merpati berhenti beroperasi ketika utangnya telah membengkak menjadi Rp 6,7 triliun.

Keseluruhan cerita tersebut merupakan penggalan-penggalan cerita yang dikutip SWA Online dari buku kedua Prasetio berjudul 'It Goes Without Saying'. Buku setebal 218 halaman tersebut berisi tentang pengalamanPrasetio membangun budaya risiko di perusahaan pelat merah. Selain memaparkan cerita tentang pengalamannya di Merpati, Prasetio juga menuliskan cerita detil mengenai bagaimana ia membangun unit manajemen risiko di Telkom dan pengalamannya memimpin Peruri. Secara umum format tulisan di buku tersebut dibuat menarik dengan format bertutur yang memudahkan pembaca mengerti konteks dan alur peristiwa atau pengalaman.

Prasetio merupakan salah satu contoh CEO Indonesia yang rajin membagikan pengalamannya lewat tulisan. Setidaknya telah ada 3 buku ia terbitkan. Pertama, buku berjudul “Dilema BUMN'. Kedua, 'It Goes Without Saying, dan terbaru Out of Comfort Zone yang berisi transformasi Peruri menjadi perusahaan terbaik.


Sumber Artikel : Swa.co.id

FeedBack