Rabu, 27 Januari 2016
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Direktur Utama Perum Percetakan Uang RI (Peruri), Prasetio, mengatakan kunci utama manajemen risiko adalah taat dan disiplin pada proses.
Hal itu dikatakan Prasetio pada peluncuran bukunya berjudul,"It Goes Without Saying, Pengalaman Membangun Risiko Melekat di BUMN" di Auditorium Arifin Panigoro, Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta, hari Selasa malam (26/1).
"Dari pengalaman saya selama lebih dari 20 tahun berkecimpung dalam bidang manajemen risiko, saya ingin menegaskan bahwa kunci manajemen risiko adalah taat dan disiplin pada proses," kata Prasetio.
"Membangun budaya sadar risiko, harus dihindari gaya sosialisasi yang agresif, namun dijalankan dengan persuasi yang efektif sehingga budaya ini tidak dipandang sebagai ancaman bagi individu, kelompok, ataupun organisasi perusahaan. Dan pada gilirannya, budaya sadar risiko dapat berjalan sendiri, alias It Goes Without Saying," kata dia menegaskan.
Setelah menerbitkan buku petamanya berjudul, “Dilema BUMN Benturan Penerapan Business Judgment Rule (BJR) dalam Keputusan Bisnis Direksi BUMN (2014),” Prasetio kembali menuliskan pengalaman, pengetahuan dan tips-nya bagi para eksekutif di BUMN khususnya dan bagi peminat serta pemerhati manajemen risiko.
Dihadapan ratusan peserta yang hadir termasuk sejumlah menteri dan pemerhati manajemen risiko, Prasetio mengungkapkan bahwa bukunya merupakan himpunan catatan dan pemikiran dirinya pada saat menjadi bagian dari upaya besar membangun budaya sadar risiko di sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tempatnya ia melakukan pengabdian.
"Ini adalah catatan dan pemikiran saya di lapangan sebagai eksekutif di tiga BUMN. Baik yang sudah lalu, maupun saat ini. Buku ini saya tuangkan dengan cara yang berbeda di antara buku-buku teks manajemen risiko yang ada di pasar. Buku ini menceritakan pengalaman membangun sedari "nol" manajemen risiko di Telkom saat menjadi Direktur Compliance & Risk Management (2007-2012), dan dilanjutkan sebagai Direktur Utama di Perum Percetakan Uang RI (Peruri) 2012 hingga saat ini," kata Pras, panggilan akrabnya.
"Telkom sebagai BUMN, yang multilisting, termasuk di Bursa Saham New York (New York Stock Exchange), memerlukan kultur risiko untuk menjaga dan memastikan tata kelola (governance) berjalan baik. Ini bukan hanya untuk mencegah terulangnya pengalaman Enron di perusahaan milik negara, melainkan juga sebagai bagian dari langkah Telkom menjadi perusahaan kelas dunia (world class company)," tambahnya.
Di Peruri di mana hingga saat ini Prasetio menjadi Direktur Utama, budaya manajemen risikonya diterapkan secara konsisten, antara lain dengan membentuk Divisi Perencanaan Strategi & Manajemen Risiko.
Dikatakan Pras, di Indonesia, akhir-akhir ini manajemen risiko diakui sangat penting dalam praktik bisnis. Namun, faktanya bidang ini belum dipandang sebagai kebutuhan mendasar.
Mengutip survei yang dilakukan AON Global Enterprise Risk Management pada 2010, level penerapan manajamen risiko oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia masih terbilang rendah dibanding negara lain. Dari lima tingkat level manajemen risiko, Indonesia tata-rata masih pada level 1 dan 2.
Buku ini menjadi menarik karena me-review tentang terungkapnya apa yang dikenal sebagai Skandal Enron di Amerika Serikat (2001) yang merupakan salah satu momentum yang mengubah pandangan dunia bisnis terhadap pentingnya manajemen risiko.
Skandal Enron memberi kesadaran baru tentang penting dan mendesaknya manajemen risiko pelaporan keuangan. Kesadaran itu meluas tak hanya di Negara Paman Sam, tetapi di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Dikatakan Pras, di dalam mengungkapkan isi buku ini, dirinya berusaha dengan gamblang dan sepopuler mungkin mengetengahkan bagaimana proses transformasi bisnis berlangsung agar terbangun kesadaran akan risiko. Dan untuk mencapai hal itu, dibutuhkan energi 'pelari marathon' namun dengan kecepatan pelari sprint.
Dalam berbagai proses, menurut Pras, proses transformasi itu seolah melakukan rekayasa ulang, reengineering, seperti menulis di kertas putih yang kosong untuk memulai segala sesuatunya dari awal.
Dalam testimoni terhadap buku ini, Arief Yahya kini Menteri Pariwisata RI dan pernah menjadi Direktur Utama Telkom periode 2012-2014, mengungkapkan bahwa beberapa pengambil keputusan ada yang lebih fokus pada return, hasilnya bagus untuk jangka pendek.
Beberapa yang lain terpaku pada risk, sehingga terkesan lambat, padahal dalam dunia bisnis saat ini, kata Arief, kecepatan merupakan strategi utama.
"Seharusnya keduanya dilakukan secara proporsional, ada return, ada risk. Percayalah keputusan yang diambil setelah mempertimbangkan return dan risk akan menciptakan nilai yang lebih tinggi dan lebih berkesinambungan untuk jangka panjang, tanpa harus mengalamo kejutan yang bisa menghancurkan bisnis karena ketidakpatuhan (incompliace)," katanya.
Arief menyisipkan pesan bahwa dirinya sebagai Direktur Enterprise & Wholesale Telkom Indonesia saat itu merasa beruntung dan merasakan ada warna serta nuasa yang berbeda dengan hadirnya Direktorat Compliance & Risk Management yang pernah dipimpin oleh penulis buku ini.
Sumber Artikel : Satuharapan.com
FeedBack