Farid Husain Merintis Perdamaian GAM-RI lewat Perjanjian Helsinki

Rabu, 15 Agustus 2018

Farid Husain tahu bahwa strategi mula-mula untuk mengatasi konflik bukan dengan tiba-tiba menghadirkan dua pihak di ruang pertemuan yang serba formal dan kaku. Ia lebih suka mendahuluinya melalui pendekatan yang personal sekaligus cair.

Sifat Farid tercermin dalam laporan Widiyanto untuk Pantau yang terbit pada 26 Juni 2008. Laporan tersebut juga jadi cerita pembuka dalam buku Setelah Damai di Helsinki: Kumpulan Tulisan tentang Aceh dalam Lima Tahun Perdamaian (2011) yang diterbitkan Aceh Feature.

Farid adalah salah satu sosok kunci di balik pakta perdamaian antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun namanya tidak sementereng Jusuf Kalla yang dulu menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia atau Hamid Awaludin selaku Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Baca juga: GAM Lahir demi Kedaulatan atas Kekayaan Alam Aceh

Latar belakang Farid terangkum salah satunya buku yang ia susun bersama tiga rekan lain bertajuk To See the Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh (2007). Ia lahir pada 9 Maret 1950 di Soppeng, sebuah desa yang berjarak kurang lebih 100 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan.

Farid menamatkan sekolah menengah atas pada tahun 1970. Ia melanjutkan studi ke Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Sebelum lulus pada 1981, ia sudah dikenal ahli bedah termuda. Di tengah kesibukannya melakoni profesi sebagai dokter, Farid juga menjadi pengajar dan pejabat dekanat di almamaternya.

Petualangan Farid di jagad konflik di Indonesia bermula saat ia menjadi Staf Ahli Menko Kesra Bidang Peran Serta Masyarakat (2001-2002). Ia diajak sahabat sekaligus “guru”nya, Jusuf Kalla (JK), yang saat itu menjadi Menko Kesra di era Presiden Megawati Soekarnoputri.

DOM Berlaku, Hubungan Baik Tetap Nomor Satu

Jusuf Kalla melihat Farid punya talenta sebagai juru damai, karena itu ia ditugaskan untuk ikut menyelesaikan konflik di Poso hingga Ambon. Pada 2003 ia punya tantangan baru: mendamaikan bumi Aceh, usai penangkapan lima perunding GAM di Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh.

Widiyanto mencatat kelimanya hendak terbang ke Tokyo untuk ikut perundingan Cessation of Hostillities (CoHA). Mereka diadili atas tuduhan makar dan tindak terorisme. Presiden Megawati kemudian meminta GAM memenuhi tiga tuntutan pokok Indonesia.
 
Pertama, Aceh tetap masuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua, GAM harus menerima tawaran menjadikan Aceh sebagai daerah otonomi khusus. Ketiga, GAM harus melucuti senjatanya.

”GAM menolak. Seminggu pasca penangkapan para juru runding GAM, tepatnya 19 Mei 2003, pemerintah Megawati mengumumkan status Darurat Militer (DM) di Aceh,” lanjut Widiyanto.

Beruntung, tidak semua elite di tubuh pemerintahan Megawati mendukung cara keras itu. JK menugasi Farid untuk tetap menjaga komunikasi dengan pihak GAM. Mulai saat itu Farid berkali-kali mengadakan pertemuan langsung maupun kontak via telepon dengan petinggi GAM. Ciri khasnya adalah pendekatan lunak.

Pendekatan Lunak Tak Melulu Berakhir Baik

Pendekatan lunak terlihat dalam pertemuan dengan Mahyuddin, orang yang punya banyak kenalan di kalangan GAM sekaligus punya hubungan bisnis dengan tentara. Farid bercerita kepada Widiyanto jika nama Mahyuddin diserahkan oleh Setejo Juwono yang dulu menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.

Pertemuan dengan Mahyuddin terjadi di Hotel Sahid Makassar. Farid mengajak Mahyuddin makan malam. Keduanya mengobrol santai sembari menikmati ikan bakar, tidak dengan menggunakan sendok, melainkan langsung pakai tangan. Kebetulan cara makan orang Aceh dan Bugis sama, jadi “relatif nyambung”, katanya.

Farid sempat membawa Mahyuddin untuk bertemu JK. Kesan yang ditanggap JK, Mahyuddin adalah orang yang keras. Farid fokus untuk mengorek informasi soal keberadaan para petinggi GAM yang berada di Swedia. Rupanya ia salah sasaran: Mahyuddin tidak punya koneksi bagus dengan Swedia.
Menemui orang yang keliru adalah pengalaman yang wajar dalam upaya merintis perdamaian di konflik mana pun. Farid tidak menyerah.

Pencariannya berlanjut, dan secara tak terduga berujung pada peneliti bahasa asal Finlandia, Juha Christensen. Si peneliti sempat dituduh pembohong oleh Farid. Pertemuan dengan petinggi GAM di Stockholm, Swedia, dibatalkan secara sepihak oleh GAM.

Farid kemudian menghubungi Martti Ahtisaari, Direktur Crisis Management Initiative (CMI) dan mantan Presiden Finlandia. Keduanya mengadakan pertemuan singkat untuk membincangkan situasi di Aceh serta rekam jejak Farid dalam menangani konflik.

Di luar dugaan, Ahtisaari kemudian mau untuk menjadi penengah dalam perundingan antara pemerintah Indonesia dan GAM. Farid gembira. Upayanya membuka jalan damai akhirnya menemui titik terang.

Dua Pihak, Satu Meja

Sejarah mencatat perundingan antara pemerintah RI dan GAM dimulai pada Januari 2005, atau satu bulan usai bencana gempa dan tsunami memporak-porandakan Aceh. Bencana itu dinilai oleh para analis sebagai faktor pendorong atas realisasi perundingan setelah sebelumnya cuma jadi wacana.
Perwakilan dari Indonesia terdiri dari ketua delegasi Hamid Awaluddin, anggota yang terdiri dari Sofyan Djalil (Menteri Komunikasi dan Penyiaran), Usman Basjah (Deputi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan), I Gusti Wesaka Pudja (Direktur Bidang Hak Asasi Manusia dan Keamanan di Departemen Luar Negeri), dan Farid Husain.

Pihak GAM dipimpin Malik Mahmud (Perdana Menteri GAM) dan Zaini Abdullah (Menteri Luar Negeri merangkap menteri kesehatan GAM). Anggotanya antara lain Bakhtiar Abdullah (juru bicara GAM), Nurdin Abdul Rahman, dan Nur Djuli (intelektual GAM).
Kembali merujuk laporan Widiyanto, tugas utama Farid adalah jadi penghubung yang baik. Ia mengaku semata-mata terdorong oleh motif kemanusiaan. Dari hubungan yang terjalin ia mendapat banyak cerita dari petinggi GAM tentang apa yang menjadi bahan bakar pergerakan di bumi Serambi Mekah itu.

Petinggi GAM, menurut cerita yang ia dengar, benci dengan sentralisme pemerintahan Jakarta. Mereka benci dengan kebrutalan tentara Indonesia yang dijuluki "si baju hijau" saat bertugas di Aceh. Cerita-cerita itu, di samping dari hasil membaca buku-buku sejarah, jadi bahan pertimbangan yang ia sampaikan ke para juru runding dari Indonesia.

Dalam To See the Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh, Farid juga ingin menjelaskan bahwa orang-orang GAM di Swedia itu beragam jika dilihat dari ranah kerja.

Ada tokoh-tokoh senior yang lama tinggal di Swedia dan termasuk generasi pertama pendiri GAM. Ada perwakilan sayap militer yang bergerilya di hutan Aceh. Ada mereka yang bergerak di wilayah perkotaan. Ada gerombolan intelektual yang berfungsi sebagai pemikir serta pemasok informasi. Terakhir, ada yang berperan bak duta besar GAM di berbagai negara.


Debat Alot di Lima Ronde

Proses perundingan berjalan cukup alot, dibagi menjadi lima ronde, dan berakhir pada jelang perayaan proklamasi RI ke-60.

Detailnya terjelaskan dalam banyak sumber literatur. Dua di antaranya adalah laporan kontributor Aceh Feature untuk Pantau, Basilius Triharyanto, dengan judul "Mengenang Proses Damai di Aceh" (terbit pada 29 Mei 2008), dan dalam catatan Damien Kingsbury yang bertajuk "The Aceh Peace Proces" di buku Aceh: History, Politics and Culture (2010).

Keduanya menjelaskan beberapa pokok yang jadi sumber tarik-ulur antara pemerintah Indonesia dan GAM. Baik pemerintah Indonesia maupun GAM punya agenda dan target sendiri-sendiri. Perwakilan masing-masing pihak berupaya untuk memenangkan kepentingannya.


Isunya beragam. Mulai dari status otonomi khusus versus keinginan referendum dan kemerdekaan, soal partai politik lokal yang dikehendaki GAM tapi bagi pemerintah Indonesia bertentangan dengan konstitusi negara, hingga terkait penarikan ribuan tentara Indonesia di Aceh dan prosedur pengamanan wilayah pasca-perundingan.

Basilius menulis bahwa di masa-masa akhir tawar-menawar JK amat khawatir perundingan akan gagal. Penyebabnya masih soal partai lokal. Hingga pada suatu saat Malik Mahmud memohon sambil menangis kepada Hamid Awaludin, agar GAM diberi kesempatan untuk mengelola partai sendiri, demi Aceh yang damai.

JK dan perwakilan Indonesia lain makin luluh sekaligus lega saat Hamid mengabarkan perkataan Malik di ronde terakhir perundingan: ”Masalah nama GAM, pada akhirnya akan hilang bila masanya tiba.”

Hamid menuangkan kisah itu dalam buku yang diterbitkan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), berjudul Damai di Aceh: Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki (2008). Masih mengutip isi buku, perkataan Malik membuat bayang-bayang lepasnya Aceh dari NKRI hilang dalam kepala perwakilan Indonesia.

Merintis Aceh Baru

Pada 15 Agustus 2005, tepat hari ini 13 tahun lalu, rancangan perundingan disahkan sebagai Perjanjian Damai Helsinki, sesuai tempat di mana MoU ditandatangani. Selain perwakilan kedua belah pihak, Ahtisaari juga menyaksikan langsung momentum bersejarah itu.

Isi MoU mencangkup isu-isu yang dirundingkan bersama. Misalnya kesediaan Indonesia untuk mempersilakan GAM yang ingin partai politik lokal, atau pencabutan tuntutan memisahkan diri dari GAM. Tahanan GAM juga akan dibebaskan, dan tentara-tentara Indonesia akan ditarik secara berangsur-angsur dari Aceh.

Semua pihak bersepakat bahwa perjanjian damai amat penting untuk memulihkan Aceh setelah bencana gempa dan tsunami, yang menyeret nyawa sekurang-kurangnya 200 ribu jiwa, dan menghancurkan hampir seluruh infrastruktur di Aceh.
Butir kesepahaman dituangkan/diturunkan dalam UU No 11/2006 tentang Pemerintah Aceh. Bumi Serambi Mekah pun memulai babak baru sejak menjadi daerah otonomi khusus. Pembangunan di berbagai bidang digalakkan. Para kombatan GAM turut berkontribusi melalui peran mereka dalam institusi pemerintahan setempat.

Hingga kini pekerjaan rumah masih menumpuk, mulai dari kemiskinan hingga kasus korupsi yang dilakukan pejabat berwenang. Namun harapan atas kestabilan kawasan tak pernah padam—termasuk dalam benak Farid Husain, sang perintis perdamaian di bumi Serambi Mekah.
 
 


Sumber Artikel : Tirto.id

FeedBack