Farid Husain, Misi Damai Seorang Dokter Bedah

Selasa, 06 April 2021

DAMAI itu indah. Karena itu, perdamaian haruslah ditegakkan, betapapun sulitnya, apa pun kendalanya. Perdamaian selalu diwujudkan dengan dialog. Dialog menghasilkan kompromi. Perdamaian dibuat dengan lawan, bukan dengan kawan. Setiap pihak memiliki hak veto sehingga perdamaian menjadi sulit, mahal, sebuah olah seni taktik dan strategi. Meramu strategi, terutama memilih dan menempatkan orang yang tepat sesuai dengan tugas, menjadi bagian dari keberhasilan sebuah proses perundingan perdamaian. Sejak awal, khususnya dalam perundingan Malino untuk Poso dan Ambon, Hamid Awaludin dan Farid Husain adalah dua figur yang selalu saya plot pada tugas yang berbeda atas pertimbangan keduanya memiliki kapasitas dan bakat yang berbeda pula.

Dokter Farid Husain berperan melancarkan dialog personal, bertatap muka dengan lawan. Misinya spesialis komunikasi di panggung belakang sebelum semua hadir ke panggung depan atau meja perundingan. Hamid Awaludin lebih mahir dalam menyiapkan konsep dan mengkomunikasikan tawaran, tuntutan, serta formula kompromi yang telah disusun bersama.

Pasca-tsunami Aceh, saya melihat makin mendesaknya kelanjutan pembicaraan perdamaian Aceh. Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan, “Mulai lagi!”— “Oke, kita mulai lagi, Pak”—saat itu pula saya kembali menyusun strategi pra-perundingan hingga perundingan dan pasca-perundingan.

Farid pun kembali terjun ke lapangan. "Rid, bangun lagi semua jaringan yang dulu, cepat. Waktumu sepuluh hari untuk membangun ulang jaringan itu. Libatkan para duta besar. Kita bangun kembali kepercayaan, kontak kembali Malik Mahmud."

161769580566

Farid kemudian bergerilya melacak jejak dan simpul-simpul lawan ataupun kawan yang harus ditemui dan tepat diajak berbicara. Pekerjaan ini ibarat mengurai benang kusut dan menelisik peta buta. Tapi tahap ini harus dilalui. Farid antara lain mesti sebisa mungkin bertemu dengan putri Malik Mahmud, Mutia binti Malik, sebelum berkontak dengan Malik Mahmud di Swedia. Mutia hidup terpisah dengan ayahnya. Dia menetap di Singapura, sementara ayahnya di Swedia.

Farid hanya dibekali nama, tanpa alamat, tanpa petunjuk berupa nomor telepon ataupun identitas lain. Saat menjalankan misi ini, Farid menjadikan Masjid Sultan Kampong Gelam di Singapura sebagai basis operasi "intelijen"-nya. Dari pusat kegiatan kaum muslim itulah Farid menghabiskan waktu, menunaikan salat lima waktu, berzikir, sambil mengendus siapa anggota jemaah yang kira-kira dapat memberikan gambaran keberadaan Mutia. Hari pertama-kedua, Farid belum menemukan titik terang. Hampir seminggu berburu alamat dengan hasil sia-sia, akhirnya Farid terlibat perbincangan segala rupa dengan seorang anggota jemaah sepuh yang tiap hari meramaikan Masjid Sultan. Dari pria Melayu inilah Farid berhasil menggali informasi untuk melanjutkan gerilyanya menemui Mutia di sebuah apartemen.

Perdamaian adalah sebuah seni olah taktik dan strategi. Dengan dasar itulah kita bergerak. Menggali dan membawa pesan dari Mutia adalah sebuah narasi pembuka cerita tentang anak yang dirindukan yang menjadi oleh-oleh istimewa untuk dipersembahkan kepada Malik Mahmud, yang tentunya setiap saat merindukan kabar haru tentang putrinya, Mutia. Langkah pembukaan yang baik menuju Helsinki. Merebut hati, membangun trust dari lawan runding, menunjukkan kesungguhan kita untuk berdialog.

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Selasa, 23 Maret 2021, saya baru saja mendarat di Jakarta sepulang dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Notifikasi pesan di telepon seluler diiringi pesan: "Farid Husain berpulang ke rahmatullah. Kita kehilangan sebuah puzzle yang kehadirannya selalu melengkapi sebuah proses perdamaian."

Saya mengenal Farid sejak akhir 1960-an. Dia kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, bersama mendiang adik saya, dokter Saman Kalla, dan dokter Idrus Paturusi (mantan Rektor Universitas Hasanuddin). Sehari-hari mereka belajar berkelompok di rumah, selain sering bertemu dengan Farid dalam kegiatan Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Makassar. Karena itu, Farid bukanlah orang baru.

Farid, bersama Hamid Awaludin, terlibat dalam trilogi perundingan perdamaian di tiga daerah: Poso, Ambon, dan Aceh. Ketiga misi terselesaikan dengan baik. Tugas Farid selalu sama, mencari para pihak yang bertikai, lalu mengajaknya ke meja perundingan. Adapun Hamid sebagai tandemnya meramu konsep dan formula untuk disampaikan dalam proses perundingan.

Dalam konflik Poso, seperti biasa, Farid mencari dan mengumpulkan semua pihak. Farid menuntaskan tugas pencariannya sesuai dengan jadwal selama lima hari. Lalu berundinglah kami dalam 15 hari. Semua bisa kami pertemukan dan, alhamdulillah, menyepakati poin-poin perundingan yang populer dengan nama Perjanjian Malino I. Perundingan ini dapat menyelesaikan konflik Poso.

Masih pada 2000-an, seusai perundingan Poso, saya perintahkan lagi Farid. "Rid, ada tantangan baru, ini Ambon makin keras dan sekitar 5.000 orang meninggal," kata saya ketika masih menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dalam kabinet Megawati Soekarnoputri. Farid pun bergerak. Kemudian kami semua ke Ambon, mencari lagi siapa yang berkelahi, siapa lawan dan kawan di sana. Tentu harus ada yang mencari, ke masjid, ke gereja, ke mana saja. Tugas itu menjadi tanggung jawab dokter Farid. Ia pun makin piawai mengemban misi pencarian dan pertemuan-pertemuan awal.

Uniknya, ketiga proses perdamaian tersebut, di Poso, Ambon, dan Aceh, selalu kami selesaikan dalam lima kali perundingan.

PADA 2007, Farid Husain menerbitkan buku To See the Unseen: Kisah Di Balik Damai Aceh. Ketika itu, banyak yang menyebut perundingan Aceh tidak sesuai dengan buku teks. Tapi textbook juga lahir dari penelitian dan pengalaman. Berdasarkan pengalaman, textbook dengan pendekatan baru dapat ditulis. Karena itulah Hamid Awaludin atau Farid, jika menuliskan pengalaman dalam sebuah buku, akan memberikan manfaat kepada upaya penegakan perdamaian atau diplomasi. Sebab, akan terungkap pendekatan-pendekatan baru yang mungkin tak lazim tapi dibutuhkan dalam suatu perundingan.

Farid telah bekerja "out of the box". Dengan kemampuannya menerjemahkan guideline yang digariskan, ditambah sedikit improvisasi di lapangan, Farid sangat membantu menyiapkan para pihak yang berkompeten menuju meja perundingan. Apa yang ia lakukan, langkah-langkahnya meyakinkan pihak-pihak yang bertikai sebelum berdialog di meja perundingan, merupakan warisan berharga seorang Farid bagi tegaknya perdamaian di beberapa wilayah konflik di Indonesia.

Farid tidak memiliki latar belakang ilmu hubungan internasional atau politik yang secara khusus menggeluti masalah teori dan praktik diplomasi. Sehari-hari dia adalah dokter ahli bedah. Tapi karena latar belakang itulah Farid mampu berkomunikasi dengan banyak pihak, dari berbagai strata sosial, juga terbiasa dalam ruang gawat darurat. Dengan pengalaman ini, Farid mampu membangun komunikasi personal, terlatih menghadapi pasien sekritis apa pun, juga andal dalam mengendalikan kepanikan dalam situasi darurat.

Untuk mengeksplorasi kemampuan Farid, dengan sedikit bercanda selalu saya sampaikan: "Jangan pernah berikan dia kertas untuk menulis, juga kesempatan bicara di forum perundingan, itu bukan tugas ideal dia." Urusan tulis-menulis, konsep dan perundingan, menjadi wilayah Hamid dan Sofyan Djalil. Karena itulah kami semua saling melengkapi. Farid salah satu unsur kelengkapan itu.

Dokter Farid Husain bukanlah seorang diplomat ulung yang sehari-hari menghabiskan waktu dari meja perundingan ke meja perundingan. Ia juga bukan duta besar yang mewakili negara dalam perjamuan-perjamuan diplomatik. Tapi Farid telah menjadi salah satu bagian penting dalam misi-misi kemanusiaan kami, mengetuk pintu untuk membebaskan manusia dari rasa takut, kelaparan, serta segala penderitaan di tenda pengungsian menuju kehidupan damai tanpa konflik dan kekerasan.

MUHAMMAD JUSUF KALLA, WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 2004-2009 DAN 2014-2019


Sumber Artikel : majalah.tempo.co

FeedBack